Rabu, 20 Januari 2010

kumpulan 2

MAKALAH

MUTLAQ DAN MUQAYYAD


Makalah ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu

Tugas Mata Kuliah “ USHUL FIQH


Dosen Pengampu:

AHMAD KHALIL THAHRIR, M.Hi









Disusun Oleh :

AHMAD QORIB YUNUS 903300209





PRODI TAFSIR HADITS

JURUSAN USHULUDDIN

STAIN KEDIRI

2


010


BAB I



  1. Pendahuluan


Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Tidak hanya itu, namun juga di harapkan bias menambah pengetahuan bagi penyusun khususnya dan bagi pebaca umumnya. Walau pun nanti isi atau pun kajannya hanya sedikit.

Dan penyusun ingin menjelaskan tentang masalah Mtlaq Muqayyad, baik dilihat dari segi pengertianya, ketentuan – ketentuan Mutlaq dan Muqayyad dan juga hubungan antara Mutlaq dan Muqayyad


  1. Rumusan Masalah

    1. Apa pengertiannya Mutlaq dan Muqayyad ?

    2. Bagai mana ketentuan Mutlaq dan Muqayad ?

    3. Apa hubungannya antara Mutlaq dan Muqayyad ?

    4. Pengunaan lafadz Mutlaq dan Muqayad?



















BAB II

PEMBAHASAN



  1. Pengertian Mutlaq

Dalam memberikan definisi kepada Mutlaq terdapat rumusan yang berbeda, namun saling berdekatan.:


  1. Muhamad al- Khodhuri Beik memberikan definisi :

المطلق مادل على فرد او افراد شائعة بدون قيد مستقل لفظا

Artinya : Mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.

  1. Al- Amidi memberi definisi :

هو اللفظ الدال على مدلول شائع فى جنسه

Artinya : Lafadz yang memberi petunjuk kepada madlul (yang diberi petunjuk ) yang mencakup dalam jenisnya.

  1. Ibn Subki merumuskan definisi:

المطلق الدال على الماهية بلا قيد

Artinya: Mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakekat Sesutu tanpa ada ikatan apa – apa

  1. Abu Zahrah mengajukan definisi :

اللفظ المطلق هو الذى يدل على موضوعه من غير نظر الى الواحدة او الجمع او الوصف بل يدل على الماهية من حيث هي



Artinya : Lafadz mutlaq adalah lapadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya (sasaran penggunaan lafadz) tanpa memandang kepada satu, banyak atau nsipatnya, tetepi memberi petunjuk kepada hakekat sesuatu menurut apa adanya.



  1. Khairul Uman memberikan definisi:

Mutlaq adalah lafadz yang menunjukan arti satu atau arti sebenarnya tanpa dibatasi oleh suatu hal yang lain

Dengan membandingakan definisi – definisi tersebut jelaslah bahwa mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya. Disinilah di antara letak perbedaan lafadz mutlaq dengan lafadz ‘am, meskipun terdapat istilah “meliputi afrodnya “.

Dari nsegi cakupannya, juga dapat dikatakan bahwa mutlaq itu sama dengan nakiroh yang disertai oleh tanda – tanda keumuman suatu lafadz, termasuk jama’nkiroh yang belum diberi qayid (ikatan).

Seperi contoh : “Aiidikum” dalam ayat :


        

Artinya : Apbila kamu tidak menemui air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, maka usaplah mukamu dan tanganmu dengan debu itu. (QS. Anisa . 43)


Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah di batasi dengan sifat syarat dan sebagainya yang jelas dalam tayamum itu harus mengusap tangan dengan debu.

Karena perkatan “aiidiikum “(tanganmu) ini tidak dibatasi sampai di mana yang harus diusap, maka bagian yang diusap adalah bagian mana sajaasalkan bagian tangan, karena itu disebut mtlaq.


  1. Pengertin Muqayyad


Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan arti sebenarnya, dengan dibatasi oleh suatu hal dari batasan – batasan tertentu. Batasan – batasan yang tertentu itu disebut dengan al- qaid.

Seperti contoh:

وايديكم الى المرافق

Artinya : basulah tanganmu sampai siku – siku.

Contoh ini menjelaskan tentang wudhu, yaitu harus membasuh tangan sampai siku – siku. Di sini dijelaskan lafadz “aiidiikum” ini disebut muqayyad (dibatasi), sedang lapadz “ila al- marofiq” disebut al- qaid.


  1. Ketentuan Mutlaq dan Muqayyad


Apabila lafadz itu mutlaq, maka mengandung ketentuan secara mutlaq (tidak dibatasi), dan apabila lafadz ityu muqayyad, maka mengandung arti ketentuan secara muqayyad (dibatasi)

Maksudnya lafadz yang mutlaq harus diartikan secara mutlaq dan lafadz yang muqayyad harus diartikan secara muqayyad pula dan tidak boleh dicampur adukan satu dengan yang lainnya. Maka sendirinya hukumnyapun harus berbeda.


D. Hubungan Antara Mutlaq dan Muqayyad


Apabila ada satu lafadz disatu tempat berbentuk mutlaq, sedangkan pada tempat yang lain berbentuk muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan dari ketentuannya.


  1. Persaman sebab dan hukumnya

Apabila kedua lafadz itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah satunya harus diikutkan pada yang lain, yakni yang muqyyad. Artinya lafadz mutlaq tadi jiwanya sudah tidak mutlaq lagi, karena ia harus tunduk kepada muqayyad, dan harus diartikan secara muqayyad. Jadi, kedua lafadz tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya namun sama saja cara mengartikannya. Oleh karena itu yang muqayyad merupakan penjelasan yang mutlaq.

Contoh lafadz:

فصيام ثلاثة أيام

Atinya: Berpuasa tiga hari, merupakan bentuk contoh mutlaq, menurut bacaan mutawatir. Tetapi menurut bacaan syadzah lafadz tersebut bentuknya muqayyad (bacan Ubbaid bin Ka’abdan Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi :

فصيام ثلاثة أيام متتابعات

Artinya : berpusalah tiga hari berturut – turut .

Jadi lafadz di atas dibatasi dengan kata – kata berturut – turut (mutatabiat).


Karena kedua bacaan tadi bersamaan sebab dan hokumnya, maka qirat mutawatir di atas diikutkan (disesuaikan) dengan qiraat syadzah. Jadi cara mengartikannya disamakan dengan qiraat syadzah. Hendaklah berpuasa tiga hari bertrut –turut. Jadi, karena keduanya sama hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya karena kafarat sumpah. Lebih jelasnya, walaupun di dalam mushaf tidak disebutkan lafadz “mutatebiatin” tetapi cara mengartikannya haruslah berpuasa tiga hari berturut –turut dengan memakai qaid mutatabiat.


  1. Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama

Apabila dua lafadz itu berbeda dalam sebab, tetapi sama dalam hokum, maka bagian ini diperselisikan antara ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlaq harus diikutkan kepada yang muqayyad, sadang Ulama yang lain mengatakan bahwa yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya.

Contohnya pada perkataan “Roqobatin” yang artinya Budak. Lafadz ini bentuknya mutlaq dalam ayat yang artinya : “dan orang – orang yang bersumpah zhihar kemudian menarik kembali apa yang dikatakannya, maka wajib memerdekakan budak, sebelum keduanya berkumpul” (QS Al- Mujahadah 39)

Padaayat lain berupa “rokobatin mukminatin” (budak yang muknin). Lafadz ini berbentuk muqayyad dalam ayat yang artinya “Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan bersakah maka wajib memerdekakan budak yang mukmin. “ QS An- Nisa 92).

Pasa ayat pertama seorang harus memerdekakan budak, karena bersupah zhihar, sedang pada ayat kedua karena membunuh tidak sengaja. Jadi, berbeda dalam sebabnya.

Neskipun berlainan sebabnya, tetapi hukumnya sama yaitu sama – sama memerdekakan budak. Namun, jika tidak diikutkan, berarti yang mutlaq tetap paa kemutlaqnnya, maka dalam supah zhihar, budak yang dimerdekakan tidak harus mukmin. Sedangkan dalam soal membunuh dengan tidak sengaja maka budak yang dimerdekakan harus mikmin.


  1. Perbedaan hukum dan sebab

Apabila terjadi perbedaan hukum dan sebab, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad. Misalnya dalam hal saksi diharuskan adil, sedangkan dalam hal membunuh dengan tidak sengaja diharuskan memerdekakan budak. Keduanya berlainan hokum dan sebabnya, yang satu harus adil (muqayyad) dan yang lainnya, diharuskan memerdekakan budak (mutlaq). Yang satu soal saksi dan yang satu soal pembunuhan, maka sudah jelas persoalannya. Oleh karena itu, tidak boleh diikutkan satu kepada yang lain, artinya dalam hal budak tidak harus budak yang adil sebagai mana dalam hal saksi.


  1. Perbedaan dalam hukummya saja

Apabila terjadi perbedaan dalam hukumnya saja maka tidak ada perselisihan antara ulama ushuk bahwa yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad.

Contohnya lafadz :

اشتر رقبة واعتق رقبة مؤمنة

Artinya : belilah budak dan merdekakanlah budak mukmin.

Karena keduanya ini berbeda dalam hukumnya, yang yang satu harus membeli budak dan yang lainnya harus memerdekakan budak. Oleh karena itu, yang satu tidak boleh diikutkan pasa yang lain.

  1. Adakalanya salah satu di antara keduanya ( mutlaq dan muqayyad), dalam bentuk itsbat (membenarkan) dan naïf (membantah). Contohnya, seorang berkata, “Merdekakanlah hamba sahaya. Lalu berkata lagi, “jangan memerdekakan hanba sahaya yang kafir.” Atau ia berkata ,“Memedai memerdekakan hamba sahaya muslim.” Dan berkata lagi, “Tidak memadai memerdekakan hamba sahaya”. Lafadz mutlaq dalam contoh tersebut diberi qayid dengan kebalikan atau lawan dari qayid pada lafadz yang miqayyad. Dalam contoh pertama kata “hamba sahaya” diberi qayid dengan “muslim” dan contoh kedua “hamba sahaya” diberi qayid dengan kata “muslim”

  2. Bila dalam keduanya (mutlaq dan muqayyad) dalm benuk naïf atau dalam bentuk mrlarang , atau yang satu dalam bentuk nafy dan yang satu lagi dalam bentuk melarang, maka lafadz mutlaq diberi qaid dengan sifat yang terdapat dalam lafadz muqayyad.

Contoh bentuk pertama : “Tidak cukup menyembeleh hewan” dan “tidak cukup menyembeleh hewan saki”

Contoh bentuk kedua : “Jangan menyembeleh hewan “ Jangan menyembeleh hewan sakit” “jangan menyembeleh hewan”.

Bentuk dan contoh yang disebutka sebelumnya adalah lafadz muqayyad berada dalam satu tempat, sehingga lafadz mutlaq hanya mungkin ditanggungkan kepada yang muqayyad itu saja.

  1. Bentuk lain adalah lafadz muqayyad berada dalam dua tempat yang berbeda.

Mengenai hal ini ada dua pendapat yang berbeda:

    1. Menurut ulama Syafi’iyah lafadz mutlaq harus ditanggungkan kepada salah satu di antara ksdua muqayyad di tempat yang berbeda itu.

Contoh :

فصيام ثلاثة أيام

Artinya : Maka harus berpuasa tiga hari ( QS Al- Maidah 89)

Kata “tiga hari” dalam ayat ini mutlaq tanpa keterangan, artinya tiga hari tersebut boleh berturut – turut dan boleh pula berpisah.

Contoh dalam kasus kafarah zhihar :

فصيام شهرين متتبعين

Artinya : Maka harus puasa selama dua bulan berturut – turut. (QS Al- Mujadalah 4)

Dalam ayat ini kewajiban berpuasa dinyatakan dalam bentuk muqayyad yaitu “berturut – turut”.

Contoh dalam bentuk dam haji (berpuasa secara berpisah)

فصيام ثلاثة أيام في الحج وسبعة اذارجعت

Artinya : Maka hendaklah puasa tiga hari waktu melakukan haji dan tujuh hari setelah kembali sari ibadah haji. (QS Al- baqarah 196)


Meskipun lafadz muqayyadnya ada dalam dua tempat yang berbeda namun bila di bandingkan, ternyata salah satu diantara keduanya lebih tepat dijadikan qayid bagi lafadz mutlaq karena adanya titik kesamaan. Dalam hal ini kewajiban puasa lebih tepat diberi qayid dengan kasus kafarah zhihar, yaitu berturut – turut, karena mutlaq dan muqayyad sama – sama dalam kasus kafarah.

b. Ulama Hanafiyah berbeda pendapat bahwa lafadz mutlaq tidak dapat ditanggungkan kepada lafadz muqayyad dalam keadaan tersebut karena lafadz muqayyadnya berbeda hukumnya. Oleh karea itu lafadz mutlaq berlaku secara kemutlaqannya sedang lafadz miqayyad berlaku menurut qayidnya. Masing – masing berdiri sendiri.

Bila muqayyad berbeda dalam dua tempat yang berbeda dan tidak ada yang lebih dekat diantara keduanya untuk memberi qayid kepada lafadz mutlaq, maka lafadz mutlaq tidak dapat ditangguhkan kepada muqayyad, karena meskipun ada lafadz muqayyadnya, tetapi berada dalam bentuk yang berbeda. Dengan demikian lafadz muqayyad b3erlaku dengan qayidnya dan lafadz mutlaq berlaku secara kemutlaqannya.


  1. Penggunaan lafadz mutlaq dan muqayyad

    1. Jika terdapat dua lafadz yang sesuai sebab dan hukumny, maka gabungkanlah mutlaq kepada muqayyad. Jikalu terdapat sutu tuntutan yang mutlaq dalam suatu lafadz dan muqayyad pada lafadz yang lain .

Seperti hadis tentang kafarah puasa.

صم شهرين متتبعين متفق عليه

Artinya : Puasalah kamu dua bulan berturut – turut.

Digabungkan dengan hadis : صم شهرين

Artinya : berpuasalah dua bulan .

Keterangan : bahwa hadis pertama dintentukan waktunya (muqayyad) sedangkan hadis kedua tidak ada ketentuannya (mutlaq), maka kedua hais tersebut di kompromikan, karena bersesuaian menurut sebab dan hukumnya.

Karena ada keterangan :

المطلق يحمل على المقيد اذا ااتفقا فى السبب والحكم

Artinya : mutlaq digabungkan kepada muqayyad bila bersesuaian menurut sebab dan hukumnya .

2. Jika tidak bersesuaian menurut sebab, maka mutlaq tidak digabungkan pada muqayyad

المطلق لايحمل على المقيد اذالم يتفق في السبب

Artinya : mutlaq tidak digabungkan dengan muqayyad apabila tidak bersesuaian pada sebab.

Seperti contoh antara lafadz zhihar dengan kafarat membunuh. Firman Allah yang artinya : “mereka yang menzhihar istrinya, kemudian mereka hendak menarik (kembali) apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami istri itu bercampur.

Dengan firman Allah yang artinya: “barang siapa yang membunuh orang mukmin bersalah, maka hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin.

Kalau ayat ini berisikan hukum yang sama (sama – sama membebaskan budak), sedangkan sebabnya berlainan, yang pertsama karena zhihar dan yang kedua karena membunuh dengan tak sengaja, maka mutlaq tidak dapat digabungkan kepada muqayyad.


BAB III

PENUTUP


KESIMPULAN

Lafadz mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh aprod di dalamnya. Di sinilah diantara letak perbedaan lafadz mutlaq dengan lafadz ‘aam, meskipun terdapat istilah “meliputi afrodnya”

Lafadz muqayyad adalahlafadz yang menunjukan arti sebenarnya dengan dibatasi oleh suatu sifat dari batasan – batasan tertentu.

Sedangkan hubungan antara mtlaq dan muqayyad diantaranya :

      • Persamaan sebab dan hukum

      • Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama

      • Perbedaan hukum dan sebab

      • Perbedaan hukumnya saja

Dan dalam masalah ini masih banyak para ulama ushul fiqih berbeda pendapat .

















DAFTAR PUSTAKA


Uman, khaerul dan Ahmad achyar Aminudin, Ushul fiqih II Bandung : Pustaka Setia. 1989

Ble, Mahmud Al- Khudhori, Terjemahan ushul Fiqih, Pekalongan: Raja Murah. 1982

Syarifudin, Amir ,Haji Ushul Fiqih II cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 1999



MAQAASHID AL-SYARI’AH


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas semester pada mata kuliah

Ushul Fiqh


Dosen Pengampu:

Ahmd Kholid Tohir M.H.







Disusun Oleh :







Ahmad Wahidin

NIM: 903300309



JURUSAN USHULUDDIN

PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN)KEDIRI

2010

BAB I


PENDAHULUAN


  1. Latar belakang

Manusia membutuhkan aturan-aturan untuk menjalani hidupnya. Aturan hidup ini haruslah berasal dari pencipta manusia itu sendiri, yaitu Allah swt. Manusia tidak akan dapat menentukan sendiri apa yang baik dan yang buruk bagi dirinya. Hanya Sang Pencipta-lah yang mengerti akan hakikat penciptaan manusia.Dalam posisinya sebagai pencipta, Allah swt. telah memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya sebagai pedoman hidup yang mesti ditaati oleh manusia.

Rasulullah Muhammad saw. adalah rasul Allah yang terakhir diutus dengan membawa risalah Islam beserta syariat-Nya (syariat Islam). Dengan mengikuti dan menjalankan syariat inilah manusia akan dapat hidup sesuai dengan fitrah penciptaannya.Tuhan maha bijaksana yang selalu mamberikan sesuatu dengan pasangannya, 1 Tuhan, turun kan dan kirim rasul-rasulnya yang selalu mengarahkan umatnya kejalan yang benar demi kebahagian hidupnya . para rasul yang membawa sebuah ajaran yang biasa dikenal dengan syariat. Yah itulah yang dibawa rasul-rasul allah lantas sampai kemanakah arah tujan syari`at yang tuhan turunkan melalui rasulnya. berikut kami sedikit jelaskan dengan rumusan masalah sebagai berikaut :

1.Pengertian syari`at 2.Tujuan syari`at 3.Pembagian mashlahah 4. Kesimpulan.

BAB II


PEMBAHASAN



A. Pengertian syari`at

Ideologi Islam lahir berdasar akidah Islam. Islam dilahirkan dari proses berpikir sehingga menghasilkan keyakinan yang teguh terhadap keberadaan Allah sebagai Sang Pencipta dan Pengatur Kehidupan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia. Darinya lahir keyakinan akan keadilan dan kekuasaan Allah Yang Maha Tahu dan Maha Pengatur, Allah telah mewahyukan aturan hidup, yaitu syariat Islam yang sempurna bersumber pada Al Qur'an dan Al Hadist.2

Syariat dapat diartikan sebagai hukum-hukum atau aturan – yang diturunkan/diserukan oleh Allah swt. – yang mengatur perihal kehidupan manusia, yaitu perbuatan-perbuatan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah dan naluriah-nya. Kebutuhan jasmaniah adalah seperti makan, minum, buang air; sedangkan kebutuhan naluriah mencakup naluri manusia untuk beragama, naluri untuk mempertahankan diri. Sangatlah Pentingn memahami tujuan syari’at bagi umumnya kaum Muslimin, terlihat dalam beberapa poin berikut ini;3

  1. Tujuan Syari`at


Syari`at islam diturunkan oleh allah SWT ,sebagai wujud kasih sayangnya (Rahmat Bagi seluruh alam semesta)4 .

Pentingnya memahami tujuan syari’at bagi umumnya kaum Muslimin, terlihat dalam beberapa poin berikut ini:

Pertama: bahwa dalam memahami tujuan ditetapkannya syari’at, dan syari’at itu merupakan syari’at yang sempurna, paripurna, bermanfaat dan sangat berfaidah, akan dapat menambah keimanan seorang muslim kepada Rabbnya Tabaraka wa Ta’ala, dan akan dapat mengokohkan ‘aqîdah Islamiyah yang bersih ke dalam hatinya. Sehingga sesudah itu, ia memiliki kemantapan dalam agama dan syari’atnya.
Kemantapan ini, tentu saja akan melahirkan komitmen yang tinggi, sehingga seorang Muslim akan bersungguh-sungguh melaksanakan ajaran Islam dengan sebenarbenarnya. Ini semua akan menambah kecintaannya terhadap syari’at, meningkatkan keteguhannya dalam berpegang pada agama, dan meningkatkan kekokohannya dalam menempuh jalan Allah yang lurus, berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Kedua: akan dapat memberikan ketahanan dan kekuatan pada diri seorang muslim untuk menghadapi ghazwul-fikri (brain washing/serangan pemikiran) dan serangan pendangkalan ‘aqidah, yang dewasa ini secara gencar dibidikkan ke arah kaum Muslimin dari segenap penjuru. Pada gilirannya seorang muslim juga akan mampu menolak berbagai ajaran lain yang menyusup, dan berbagai arus pemikiran yang merusak, yang para pelakunya selalu bersembunyi di balik slogan-slogan dusta dan propaganda-propaganda palsu, yang tujuannya memberikan kesan bahwa Islam adalah agama biadab, agama teroris, agama ekstrim, dan membuat-buat dusta atas nama Islam lebih banyak lagi. Juga untuk melekatkan berbagai syubhat dan kesesatan pada Islam, dengan maksud memberikan gambaran salah kepada orang-orang yang tidak mengerti, awam dan orang-orang yang tidak matang dalam belajar.

Diterapkannya hukum isam untuk umat islam , pertama ditujukan untuk mendidik (tarbiah) dan membersihkan diri seseorang (tazkiyyah al nafsi.Agar ia mampu menjadi sumber kebaikan bagi kelompok dan masyarakatnya, bukan menjadi penyebar petaka dan keburukan bagi orang lain. Pendidikan itu diwujudkan dalam perintah melakukan ibadah. Hal ini semuanya untuk medidik dan membersihkan diri serta memperkokoh hubungan kemasyarakatan.5Pelaksanaan ibadah juga diharapan dapat menyembuhkan jiwa dari penyakit hati seperti iri,dengki, sombong da sebagainya yang bersemayam dalam hati.

Ketiga: menegakkan keadilan.

Penerapan hukum syariat islam bagi umat manusia ditunjukan untuk menegakan keadilan (iqamam al`adalah) ditengah-tengah-tengah masyarakat, baik adil terhadap dirinya maupun adil tehadap orang lain Allah berfiman dalam surat al maidah ayat 8:

ولا يجر منكم شنان قوم علي الا تعدلوا هو اقرب للتقو

Arinya :Janganlah kamu terrtarik menjadi aniaya oleh karena kebencian kaum kafir kepadamu, hingga kamu tidak berbuat adil, hendaklah kamu adil karena adil itu lebih dekat pada takwa.

Keadilan dalam islam memilki tujuan yang luhur dan diterapkan pada arah yang bermacam-macam, seperti keadilan dalam hukum , yakni peradilan dan kesaksian. Demikian pula keadilan daam kehidupan sehari-hari diantara sesama, maing-masing mempunyai tanggung jawab dan hak-hak yang seimbang6. Dalam rangka menegakkan keadilan, islam telah mengatur hak dan kewjiban diantara umat manusia laki-laki maupun perempuan , disesuaikan dengan kondisi masing-masing secara seimbang. Sesungguhya tiada jalan untuk menerapkan satu keadilan kecuali apabila keutamaan dan kasih sayang selalu dihormati dan dijunjung tinggi ,serta diperhatikan kemaslahatan masing-masing individu diantara kemaslahatan sesema, bukan menganiaya terhadap orang lain.7

Ketiga: Disya ri`atkannya hukum islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan (jalb al nafi`).Dan kemaslahatan ini merupakan tujuan yang hakiki dari diterapkanya hukum islam. Oleh kaerena itu setiap aturan hukum yang trkandung dalam al Kitab maupun al Sunah pasti hrus mengandung kemaslahatan yang nyata. Kamaslahatan yang dimaksud islam adalah kemaslahatan yag hakiki yang barsifat umum(Kully), bukan kemaslahatan sebagian ( Juz`i). 8

Maslahat bersifat universal,berlaku umum dan dan abadi atas seluruh manusia dan dalam segala keadaan. Beberapa pokok pikiran menyangkut universalitas syari`at diantaranya adalah; Setiap aturan (nizam ) bagi kemaslahatan diciptakan tuhan secara harmonis dan tidak saling berbenturan. Jika aturan itu tidak harmonis dan saling bertentangan , tuhan tentu tidak menyari`atkannya karena hal itu lebih tepat disebut sumber kerusakan ( mafsadah),padahal tuhan menghendaki kemaslahatan secara mutlak .teori keharmonisan aam sangat sejalan dengan argument filofufis, yaitu bahwa jika dunia ini diamati ,kita menemukan asanya hukum keteraturan universal. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa perbuatan tuhan mestilah menghendaki keharmonisan dalam berbagai proses di alam ini.

Asy Syatibi mengatakan bahawa tujuan Syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan hamba baik di dunia maupon di akhirat.Antara kemaslahatan tersebut adalah seperti berikut:


1- Memelihara Agama
2- Memelihara Jiwa
3- Memelihara Akal
4- Memelihara Keturunan
5- Memelihara Kekeyaan



Lima unsur di atas dibedakan menjadi tiga peringkat yaitu:-
1- Dharuriyyat
2- Hijiyyat
3- Tahsiniyyat

Peringkat Dharuriyyat menepati urutan yang pertama,disusuli dengan peringkat yang ke dua yaitu Hijiyyat dan dilengkapi dengan yang terakhir sekali ialah Tahsiniyyat.
Yang dimaksudkan dengan Dharuriyyat adalah memelihara segala kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia.
9Adapun kriteria mashlahah adalah tegaknya kehidupan dunia demi tercapainya kehidupan ahirat(min haytsu tuqom al-hayah al dunya li al ukhra). Dengan demikian ,segala hal yang

hanya mengandung kemashlahatan dunia tanpa kemashlahatan akhirat , atau tidak mendukung kemashlahatan akhirat, hal itu bukanah mashlhahah yang menjadi tujuan syari`at10 .

Dengan mengetahui tujuan umum dari syari`at ini , akan dapat ditarik suatu peristiwa yang sudah ada nashnya secara tepat dan benar , dan selanjutnya dapat ditetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan nashnya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tujuan hukum diatas 11. Maslahah yang akan diwujudkan hukum islam dan telah ditetapkan data teks nash hukum syari`at adalah maslahah yang hakiki yaitu memelihara lima hal, agama,(hifz al din ), jiwa (hifz al Nafsi), harta( hifz al mal ), (hifz al `aql) akal ,dan (hifz al anas) keturunan. Sebagai mana diketahui dunia yang dihuni oleh manusia ini akan terjaga dengan tegaknya lima hal diatas, dan kehidupan manusia yang luhur akan terwujud apabila kelima hal diatas tadi telah terpenuhi. Oleh kerena itu memuliakan manusia terkait dengan pemeliharaan itu. Agama harus dimiliki oleh setiap mausia dimasudkan agar tumbuh dan berkembang .Arti serta inti kemanusian, sebab beragama adalah satu ciri khas manusia. Untuk itu manusia harus menjaga agama dari tiap-tiap rong-rongan.12

Untuk menjaga dan memelihara agama serta menyelamatkan jiwa ,islam menyari`atkan pelaksanaan kesemua ibadah, yang dimaksud untuk membersihkan diri dari dan menumbuhkan jiwa dalam semangat beragama.Menyelamatkan dan mnjaga jiwa yang dimaksud ialah memelihara dan menjaga hak hidup yang mulia ini. Bentuk pemeliharaan jiwa antara lan dengan menjaganya dari setiap bahaya yang mengancam seperti pembunuhan, penganiayaan dan sejenisnya, Diantaranya adalah larangan menuduh dan mengumpat serta ucapan-ucapan lain yang merendahkan martabat kemanusian. 13 .Memelihara akal yang dimaksud ialah memelihara dan menjaganya dari bahaya yang akan membuat saeseoang menjadi beban masyarakat dan menjadi sumber kejahatan atau penyakit bagi orang lin . Menjaga akal ini diarahakn pada beberapatujuan.:

Pertama : agar tiap-tiap anggota masyarakat itu dalam keadaan selamat dan sehat yang diharapkan dapat mengembangkan unsur-unsur kebijakan dan kemanfaatan.

Kedua ; Orang yang akalnya rusak ahirnya menjadi beban kelompok atau masyarakatnya ,oleh karena itu apabila demikian keadaanya maka anggota masyarakat itu harus patuh pada aturan-aturan hukum yang arahnya mencegah akal agar tidak terjerumus kedalam kerusakan .

Ketiga ; orang yang akalnya terkena kerusakan menjadi jelek ditengah maytarakat yang dapat menimbulkan penyakit, permusuhan dan perkelahian. Untuk mencegah ini allah mengatur dan mewjiban untuk menjaga akal, dari kejahatan dan dosa. Untuk itulah hukum syari`at memberikan sangsi pada peminum-minuman keras dann lainnya.14

karena hanya orang yang berjiwa yang mungkin melaksanakan ketentuan agama. Maksudnya, syara`at hanya dapat dan wajib dilaksanakan oleh mereka yang masih hidup sehat jasmni dan rohani. karena itu jiwa seseorang menjadi amat penting bagi pelaksanaan jalannya syari`at.15

Memelihara keturunan maksudnya ialah memelihara jenis manusia dan mendidiknya dengan pendidikan yang dapat menumbuhkan sikap persahabatan atau persatuan diantara sesamanya. Oleh karena itu tiap-tiap anak harus dididik oleh kedua ibu bapaknya, diasuh, dipelihara sesuai dengan ajaran agama.

Memelihara harta benda dimaksudkan untk mencegah pelarangan terhadap harta kekayaan seperti pencurian , penyerobotan, dan lain-lain. Juga untuk mengatur lalu lintas kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhannya, dengan dasar keadilan dan kerelaan dan ditangani oleh orang-orang yang dapat mengemban, memelihara dan menjaganya.

Kelima hal diatas tatacara pemelihaaannya telah diatur oleh syari`at . Imam gazali berpandapat ” meraih manfaat dan menolak bahaya 9 jalb al Nafi` wa daf`ul dlarar) merupakan tujuan mahluq dan kepatuhannya untuk meraih tujuan-tujuannya. Semantara para ulma fiqh sepakat bahwa tiap-tiap hukum islam terdapat kemaslahatan yang nyata , dan allah SWT telah menetapkan bahwa syari`at islam sebagai rahmat, sekaligus obat ,dan petunjuk. Kalaupun ada perbedaan pendapat, hanya dikaitkan mengenai keberadaan membatasi hukum syari`at. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa kemaslahatan itu ternyata bertingkat-tigka bila dlihat dari kaidah umumnya , zaruriah ketentuannya harus didahulukan dari pada hajiyyat, dan hajiyyat harus didahulukan dari tahsimniat. 16 Dalam hal ini Imam izuddin `abdussalam membagi mashlahah menjadi tiga macam :

Pertama : Maslahah Wajibah Yang dimaksud mashlahah ini adalah mashlahah yang ditetapkan atau diwajibkan Allah untuk hamba-hambanya yang terbagi atas dua tingkatan الفاشل ,الافضل , المتوسط. Diantara kedu maslahat yang paling utama adalah maslahata yang menjadikan dirinya mulya ( kehormatan ), yang mampu menghilangkan bahaya dan dapat menarik manfaat

Kedua : Maslahah Mandubah Maslahah ini yang dimaksud ialah yang disunahkan oleh allah bgi hamba-hambanya .

Ketiga : Maslahah mubah

Mashlahah ini adalah yang terbatas hanya untuk kepentingan sesaat, yang satu sama lain lebih besar dan lebih bermanfaat bagi yang lainnya.Memang pada maslhahah ini mengandung unsur unsur kemaslahatan dan menolak kerusakan dan biaya, akan tetapi mashlahah yang terbatas pad maslahah pribadi atau dalam lingkungan kecil , seperti makan, minum, jalan-jalan dan lain-lain.17

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa perbuatan tuhan mestilah menghendaki keharmonisan dalam berbagai proses di alam ini. 2Maslahah bersifat universal,berlaku umum dan dan abadi atas seluruh manusia dan dalam segala keadaan. Beberapa pokok pikiran menyangkut universalitas syari`at diantaranya adalah; Setiap aturan (nizam ) bagi kemaslahatan diciptakan tuhan secara haaaaarmonis dan tidak saling berbenturan. Jika aturan itu tidak harmonis dan saling bertentangan , tuhan tentu tidak menyari`atkannya karena hal itu lebih tepat disebut sumber kerusakan ( mafsadah),padahal tuhan menghendaki kemaslahatan secara mutlak .teori keharmonisan aam sangat sejalan dengan argumen filosufis, yaitu bahwa jika dunia ini diamati ,kita menemukan asanya hukum keteraturan universal.18

Muhammad `Abduh,pelopor pembaharu islam , juga menerima teori nuniversalitas dan harmonitas maslaha dan syari`at. Dalam hal ini ia mengajukan teori sunnatullah ( hukum alam ciptaan tuhan ), bahwa tuhan mengatur segalanya sesuai dengan hukum alam ciptaanya yang tudak berubah-ubah sehingga segala sesuatu pada alam ini berjalan baik dan teratur secara harmonis. Menurut `abduh, perbuatan – perbuatan tuhan mempunyai tujuan-tujuan tertentu karena mustahil dia berbuat sia-sia tanpa tujuan.19

BAB III

KESIMPULAN


  1. Syariat dapat diartikan sebagai hukum-hukum atau aturan – yang diturunkan/diserukan oleh Allah swt. – yang mengatur perihal kehidupan manusia, yaitu perbuatan-perbuatan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah dan naluriah-nya.

  2. Diterapkannya hukum isam untuk umat islam , pertama ditujukan untuk mendidik (tarbiah) dan membersihkan diri seseorang (tazkiyyah al nafsi.Agar ia mampu menjadi sumber kebaikan bagi kelompok dan masyarakatnya, bukan menjadi penyebar petaka dan keburukan bagi orang lain..

  3. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa perbuatan tuhan mestulah menghendaki keharmonisandalam berbagai proses di alam ini. 2Maslaha bersifat universal,berlaku umum dan dan abadi atas seluruh manusia dan dalam segala keadaan. Beberapa pokok pikiran menyangkut universalitas syari`at diantaranya adalah; Setiap aturan (nizam ) bagi kemaslahatan diciptakan tuhan secara harmonis dan tidak saling berbenturan. Jika aturan itu tidak harmonis dan saling bertentangan , tuhan tentu tidak menyari`atkannya karena hal itu lebih tepat disebut sumber kerusakan ( mafsadah),padahal tuhan menghendaki kemaslahatan secara mutlak .teori keharmonisan aam sangat sejalan dengan argumen filosufis, yaitu bahwa jika dunia ini diamati ,kita menemukan asanya hokum keteraturan universal.



DAFTAR PUSTAKA


Azrul, “ Tujuan Hukum Islamhttp://ms.shvoong.com/books/dictionary/1916025-tujuan-hukum-islam

Asmawi, filsaeat hukum Islam ,47.

Ali M, Athian ”islam Agamaku” blogspot http://badrislam.com Tujuan Syariat Islam-/2009/04/29 April, 2009 ,diakses tanggal 16 januar

Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari “MEMAHAMI TUJUAN SYARI’AT”http://www.almanhaj.or.id/content/2193/slash/s,Rabu, 1Agustus 2007,diakses tanggal 16 januari 2010

Haq,Hamka ” Al- Syathibi . konsep Maashlaha dalam kitab Muwafaqat”, (Surabaya: Elkaf ( Lembaga kajian agama islam,2006),81.

Http://ms.shvoong.com/books/dictionary/1916025-tujuan-hukum-islam

Zahir,”Tujuan Syariat Islam

http://hati.unit.itb.ac.id/?p= 66,16 December,2008, diakses tanggal 16 januari 2010











1 Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari

MEMAHAMI TUJUAN SYARI’AT”http://www.almanhaj.or.id/content/2193/slash/s,Rabu, 1Agustus 2007,diakses tanggal 16 januari 2010




2  . Athian Ali M, ” Islam Agamaku ” blogspot http://badrislam.com Tujuan Syariat Islam-/2009/04/29 April, 2009 ,diakses tanggal 16 januari 2010




3 Zahir Al- Bantani,”Tujuan Syariat Islam

http://hati.unit.itb.ac.id/?p= 66,16 December,2008, diakses tanggal 16 januari 2010






4 4. Asmawi,”filsaeat hukum Islam,” (Surabaya : Elkaf / lembaga kajian Hukum Islam ,2006),43.

5.ibid.,4 4.

6. Asmawi, filsaeat hukum Islam,45.

7 Asmawi, filsaeat hukum Islam ,46.

8 Asmawi, filsaeat hukum Islam ,47.


9... azrul, “ Tujuan Hukum Islam

http://ms.shvoong.com/books/dictionary/1916025-tujuan-hukum-islam


10 . Hamka,haq,” Al- Syathibi . konsep Maashlaha dalam kitab Muwafaqat”, (Surabaya: Elkaf ( Lembaga kajian agama islam,2006),81.


11. Asmawi, filsaeat hukum Islam ,47.

12 Ibid, Asmawi,.

13. filsaeat hukum Islam ,49.


14. filsaeat hukum Islam ,50.

15. haq,” Al- Syathibi . konsep Maashlaha dalam kitab Muwafaqat”, (Surabaya: Elkaf ( Lembaga kajian agama islam,2006),83.


16 . filsaeat hukum Islam ,52.

17. . filsaeat hukum Islam ,58.

18 . haq,” Al- Syathibi . konsep Maashlaha dalam kitab Muwafaqat”, (Surabaya: Elkaf ( Lembaga kajian agama islam,2006),83..

19 haq,” Al- Syathibi . konsep Maashlaha dalam kitab Muwafaqat”, (Surabaya: Elkaf ( Lembaga kajian agama islam,2006),86.










kumpulan usul fiqh

DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I : PENDAHULUAN 1

BAB II : PEMBASAHAN 2

Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum 3

Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum 6

Hubungan Al-Hadits/As-Sunnah Dengan Al-Qur’an 7

BAB III : PENUTUP 11

Kesimpulan 11

DAFTAR PUSTAKA 12

BAB I

PENDAHULUAN


Al-Quran dan Nabi dengan sunnahnya merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi ”jantung” umat Islam. Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karena sangat wajar dan logis bila perhatian dan apresiasi terhadap keduanya melebihi perhatian dan apresiasi terhadap bidang yang lain.

Seperti kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan buku petunjuk (kitab hidayah) khususnya bagi umat Islam serta umat manusia pada umumnya.1 Al-Qur’an juga menjadi Manhajul hayah (Kurikulum kehidupan) bagi manusia di dalam meniti hidup di gelanggang kehidupan ini. Satu hal yang juga disepakati oleh seluruh ummat Islam ialah kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, pembahasan berikut akan menjelaskan berbagai alasan (hujjah) yang menguatkan kesepakatan umat tersebut.

BAB II

PEMMBAHASAN


Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf2 bahwa kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata lain Al-Qur’an itu betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara qat’iy (pasti). Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Sementara M. Quraish Shihab3 menjelaskan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu , merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Qur’an diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar. Keberadaan al-Qur’an sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Qur’an bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya4. Bagi Mu’tazilah al-Qur’an berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Di dalam al-Qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk al-Qur’an terkadang memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan karena itu pula al-Qur’an diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya disuruh spuasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam al-Qur’an, melainkan dalam hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih.

Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Qur’an sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya –di samping semua kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Qur’an semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah.


1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum

Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum yang paling utama, dengan kata lain, al-Qur’an menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. al-Qur’an dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi’ Hasan Abi Thalib5 menegaskan :

يعتبر القران المصدر الاول الاحكام الشرعية اما بقية المصادر فهى تابعة له ومتفرعة عنه ومن ثم يحتل المرتبة الاولى فى الاستبدال فلا يجوز العدول عنه الى غيره الا اذا خلا من حكم للحالة المعروضة

Al-Qur’an dipandang sebagai sumber utama bagi hعkum-hukum syari’at. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari al-Qur’an. Dan dari sini, jelas bahwa al-Qur’an menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari al-Qur’an, karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada al-Qur’an. Al-Ghazali6 bahkan mengatakan , pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT.

بان اصل الاحكام واحد وهو قول الله تعالى اذ قول الرسول صلى الله تعالى عليه و سلم ليس بحكم ولا ملزم بل هو مخبر عن الله تعالى انه حكم بكذه و كذا

Dari uraian di atas jelas bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah, menjadi sumber utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya.

Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat disebut dengan Kaifiyah dalalah al-lafdz ‘ala al-ma’na.

Dalam kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qat’iy dan zanniy. Terma ini digunakan untuk nash-nash yang lafalnya menunjukkan kepada pengertian atau makna yang sudah jelas dan tegas serta tidak mungkin diragukan.7

Tentang terma qat’iy dan hubungannya dengan nash, maka ulama ushul membaginya kepada dua macam yaitu :

  1. Qat’iy al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.

  2. Qat’iy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut.

Sedangkan terma Zanniy dan hubungannya dengan nash, terbagi dua macam pula yaitu :

1. Zanniy al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir

2. Zanniy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang masih mungkin untuk ditakwilkan atau mengandung pengertian lain dari arti literalnya.

Dalam hubungan ini, bila dihubungkan dengan al-Qur’an dari segi keberadaannya adalah qat’iy al-Wurud karena al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya. Bila al-Qur’an dilihat dari segi dalalahnya, maka ada yang qat’iy dalalah dan zanniy dalalah.

Umumnya nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan qat’iy al-dalalah ini, lafal dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat nama dan jenis.

Salah satu contoh ayat yang qat’iy al-dalalah :

ولكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد ...

Dan bagi kamu (suami-suami) mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak … (QS. Al-Nisa : 12)

Ayat ini berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Ayat ini dalalahnya qat’iy, jelas dan tegas, karena terdapat kata nisfun (seperdua) yang tidak ada pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu.

Kemudian , nash al-Qur’an di samping qat’iy al-dalalah ada juga yang zanniy al-dalalah. Nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan pada kelompok yang disebutkan terakhir ini adalah bila lafal-lafalnya diungkapkan dalam bentuk ‘am, musytarak, dan mutlaq. Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah ushuliyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Dalam penelitian ulama ushul ternyata banyak nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan zanniy al-dalalah ini, dan pada bagian ini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ulama ushul. Contoh berikut ini dapat dilihat secara jelas :

و المطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء ...

Wanita-wanita yang ditalak (diceraikan) hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru. (QS. Al-Baqarah : 228)

Yang menjadi persoalan di sini adalah pengertian kata “quru” yang musytarak yaitu mengandung arti lebih dari satu. Kadang dalam bahasa Arab diartikan “al-Tohr” (suci) dan kadang-kadang diartikan pula al-Haydoh (haid). Masing-masing dari arti dari lafadz quru ini menghasilkan deduksi hukum yang berbeda. Artinya jika quru diartikan dengan suci dan tentu masa ‘iddahnya lebih lama atau lebih panjang daripada arti haid. Hal ini karena penghitungannya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara berturut-turut tiga kali.

Berbeda halnya jika lafal quru diartikan dengan haid, artinya jika wanita yang ditalak oleh suaminya telah nya dan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa ‘iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih).

Pada prakteknya kalangan mazhab Hanafi berpegang bahwa lafal quru berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci. Sementara itu kalangan mazhab Syafi’i berpendapatr bahwa lafal quru berarti suci, karena qarinahnya menunjukkan kata bilangan muannas (jenis perempuan) sedangkan yang terbilang (al-ma’dud) adalah muzakar yaitu al-tohr. Demikian penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya.

Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa dalil nash yang dikelompokkan kepada zanniy al- dalalah memberi peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid di dalam mengambil istinbat hukum, sehingga tidak bisa dihindari terjadinya produk hukum yang berbeda.

DASAR ALASAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM

Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam8. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:

  1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).

  2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)

  3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).

  4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).

Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah

HUBUNGAN AL-HADITS/AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN

Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :

  1. Bayan Tafsir,

yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).



  1. Bayan Taqrir,

yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.

  1. Bayan Taudhih,

yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”.

Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.9

Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:

keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)

Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan

Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)

Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.

Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)10

Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.

Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:

1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya

Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:

Berpuasa Wishal

Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.

Boleh beristri lebih dari empat wanita

Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.

2. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya

Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.

  • Shalat Dhuha’

  • Qiyamullail

  • Bersiwak

  • Bermusyawarah

  • Menyembelih kurban (udhhiyah)


3. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya

  • Menerima harta zakat

  • Makan makanan yang berbau

  • Haram menikahi wanita ahlulkitab

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut:

  1. Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).

  2. Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.

  3. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; bayan tafsir yang menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; Bayan Taqrir, berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, dan; Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an

  4. Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.

Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an

Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka

Quraish, M. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan

_______________ Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, Cet. III, 1996.


Al-Birri, Zakaria, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo : Dar al-Ittihad al-Arabi Littiba’ah, 1975.

Al-Ghazali, al-Mustasfa Min ‘Ilmi al-Ushul, Mesir : Maktabah al-Jumdiyah, 1971

Khallaf, Abdul Wahab,‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990, halaman 24.

Nasution, Harun, Islamologi (Ilmu Kalam), Jakarta : UI Press, Cet. II, 1980

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2000

Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I. 1999.

Talib, Safi Hasan Abu, Tatbiq al-Syari’ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah, Cet. III, 1990

Wizarah al-suun al-Islamiyah wa al-awqaf wa al-da’wah wa al-irsyad fi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, al-Madinah al-Munawwarah : Majma al-Malik Fahd Litiba’ah al-Mushaf al-Syarif.

KATA PENGANTAR



Untaian rasa syukur kepada Allah SWT, karena limpahan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Ulumul Hadits dengan tepat waktu. Semoga tugas ini dapat menambah pengetahuan tentang Al Qur’an dan Hadits sebagai hukum khususnya hukum Islam dan landasan kita dalam bermuamalah

Terimakasih kepada teman teman yang membantu dalam penyelesaian makalah ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Mengingat keterbatasan kemampuan kami, dengan penuh kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran guna koreksi pada tugas tugas berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembacanya.




Kediri, Januari 2010



Penyusun

i



DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I : PENDAHULUAN 1

BAB II : PEMBASAHAN 2

Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum 3

Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum 6

Hubungan Al-Hadits/As-Sunnah Dengan Al-Qur’an 7

BAB III : PENUTUP 11

Kesimpulan 11

DAFTAR PUSTAKA 12

BAB I

PENDAHULUAN


Al-Quran dan Nabi dengan sunnahnya merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi ”jantung” umat Islam. Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karena sangat wajar dan logis bila perhatian dan apresiasi terhadap keduanya melebihi perhatian dan apresiasi terhadap bidang yang lain.

Seperti kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan buku petunjuk (kitab hidayah) khususnya bagi umat Islam serta umat manusia pada umumnya.1 Al-Qur’an juga menjadi Manhajul hayah (Kurikulum kehidupan) bagi manusia di dalam meniti hidup di gelanggang kehidupan ini. Satu hal yang juga disepakati oleh seluruh ummat Islam ialah kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, pembahasan berikut akan menjelaskan berbagai alasan (hujjah) yang menguatkan kesepakatan umat tersebut.

BAB II

PEMMBAHASAN


Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf2 bahwa kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata lain Al-Qur’an itu betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara qat’iy (pasti). Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Sementara M. Quraish Shihab3 menjelaskan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu , merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Qur’an diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar. Keberadaan al-Qur’an sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Qur’an bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya4. Bagi Mu’tazilah al-Qur’an berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Di dalam al-Qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk al-Qur’an terkadang memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan karena itu pula al-Qur’an diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya disuruh spuasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam al-Qur’an, melainkan dalam hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih.

Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Qur’an sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya –di samping semua kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Qur’an semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah.


1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum

Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum yang paling utama, dengan kata lain, al-Qur’an menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. al-Qur’an dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi’ Hasan Abi Thalib5 menegaskan :

يعتبر القران المصدر الاول الاحكام الشرعية اما بقية المصادر فهى تابعة له ومتفرعة عنه ومن ثم يحتل المرتبة الاولى فى الاستبدال فلا يجوز العدول عنه الى غيره الا اذا خلا من حكم للحالة المعروضة

Al-Qur’an dipandang sebagai sumber utama bagi hعkum-hukum syari’at. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari al-Qur’an. Dan dari sini, jelas bahwa al-Qur’an menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari al-Qur’an, karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada al-Qur’an. Al-Ghazali6 bahkan mengatakan , pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT.

بان اصل الاحكام واحد وهو قول الله تعالى اذ قول الرسول صلى الله تعالى عليه و سلم ليس بحكم ولا ملزم بل هو مخبر عن الله تعالى انه حكم بكذه و كذا

Dari uraian di atas jelas bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah, menjadi sumber utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya.

Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat disebut dengan Kaifiyah dalalah al-lafdz ‘ala al-ma’na.

Dalam kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qat’iy dan zanniy. Terma ini digunakan untuk nash-nash yang lafalnya menunjukkan kepada pengertian atau makna yang sudah jelas dan tegas serta tidak mungkin diragukan.7

Tentang terma qat’iy dan hubungannya dengan nash, maka ulama ushul membaginya kepada dua macam yaitu :

  1. Qat’iy al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.

  2. Qat’iy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut.

Sedangkan terma Zanniy dan hubungannya dengan nash, terbagi dua macam pula yaitu :

1. Zanniy al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir

2. Zanniy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang masih mungkin untuk ditakwilkan atau mengandung pengertian lain dari arti literalnya.

Dalam hubungan ini, bila dihubungkan dengan al-Qur’an dari segi keberadaannya adalah qat’iy al-Wurud karena al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya. Bila al-Qur’an dilihat dari segi dalalahnya, maka ada yang qat’iy dalalah dan zanniy dalalah.

Umumnya nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan qat’iy al-dalalah ini, lafal dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat nama dan jenis.

Salah satu contoh ayat yang qat’iy al-dalalah :

ولكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد ...

Dan bagi kamu (suami-suami) mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak … (QS. Al-Nisa : 12)

Ayat ini berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Ayat ini dalalahnya qat’iy, jelas dan tegas, karena terdapat kata nisfun (seperdua) yang tidak ada pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu.

Kemudian , nash al-Qur’an di samping qat’iy al-dalalah ada juga yang zanniy al-dalalah. Nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan pada kelompok yang disebutkan terakhir ini adalah bila lafal-lafalnya diungkapkan dalam bentuk ‘am, musytarak, dan mutlaq. Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah ushuliyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Dalam penelitian ulama ushul ternyata banyak nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan zanniy al-dalalah ini, dan pada bagian ini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ulama ushul. Contoh berikut ini dapat dilihat secara jelas :

و المطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء ...

Wanita-wanita yang ditalak (diceraikan) hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru. (QS. Al-Baqarah : 228)

Yang menjadi persoalan di sini adalah pengertian kata “quru” yang musytarak yaitu mengandung arti lebih dari satu. Kadang dalam bahasa Arab diartikan “al-Tohr” (suci) dan kadang-kadang diartikan pula al-Haydoh (haid). Masing-masing dari arti dari lafadz quru ini menghasilkan deduksi hukum yang berbeda. Artinya jika quru diartikan dengan suci dan tentu masa ‘iddahnya lebih lama atau lebih panjang daripada arti haid. Hal ini karena penghitungannya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara berturut-turut tiga kali.

Berbeda halnya jika lafal quru diartikan dengan haid, artinya jika wanita yang ditalak oleh suaminya telah nya dan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa ‘iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih).

Pada prakteknya kalangan mazhab Hanafi berpegang bahwa lafal quru berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci. Sementara itu kalangan mazhab Syafi’i berpendapatr bahwa lafal quru berarti suci, karena qarinahnya menunjukkan kata bilangan muannas (jenis perempuan) sedangkan yang terbilang (al-ma’dud) adalah muzakar yaitu al-tohr. Demikian penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya.

Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa dalil nash yang dikelompokkan kepada zanniy al- dalalah memberi peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid di dalam mengambil istinbat hukum, sehingga tidak bisa dihindari terjadinya produk hukum yang berbeda.

DASAR ALASAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM

Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam8. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:

  1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).

  2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)

  3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).

  4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).

Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah

HUBUNGAN AL-HADITS/AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN

Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :

  1. Bayan Tafsir,

yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).



  1. Bayan Taqrir,

yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.

  1. Bayan Taudhih,

yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”.

Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.9

Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:

keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)

Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan

Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)

Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.

Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)10

Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.

Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:

1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya

Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:

Berpuasa Wishal

Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.

Boleh beristri lebih dari empat wanita

Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.

2. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya

Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.

  • Shalat Dhuha’

  • Qiyamullail

  • Bersiwak

  • Bermusyawarah

  • Menyembelih kurban (udhhiyah)


3. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya

  • Menerima harta zakat

  • Makan makanan yang berbau

  • Haram menikahi wanita ahlulkitab

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut:

  1. Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).

  2. Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.

  3. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; bayan tafsir yang menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; Bayan Taqrir, berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, dan; Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an

  4. Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.

Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an

Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka

Quraish, M. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan

_______________ Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, Cet. III, 1996.


Al-Birri, Zakaria, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo : Dar al-Ittihad al-Arabi Littiba’ah, 1975.

Al-Ghazali, al-Mustasfa Min ‘Ilmi al-Ushul, Mesir : Maktabah al-Jumdiyah, 1971

Khallaf, Abdul Wahab,‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990, halaman 24.

Nasution, Harun, Islamologi (Ilmu Kalam), Jakarta : UI Press, Cet. II, 1980

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2000

Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I. 1999.

Talib, Safi Hasan Abu, Tatbiq al-Syari’ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah, Cet. III, 1990

Wizarah al-suun al-Islamiyah wa al-awqaf wa al-da’wah wa al-irsyad fi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, al-Madinah al-Munawwarah : Majma al-Malik Fahd Litiba’ah al-Mushaf al-Syarif.

KATA PENGANTAR



Untaian rasa syukur kepada Allah SWT, karena limpahan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Ulumul Hadits dengan tepat waktu. Semoga tugas ini dapat menambah pengetahuan tentang Al Qur’an dan Hadits sebagai hukum khususnya hukum Islam dan landasan kita dalam bermuamalah

Terimakasih kepada teman teman yang membantu dalam penyelesaian makalah ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Mengingat keterbatasan kemampuan kami, dengan penuh kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran guna koreksi pada tugas tugas berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembacanya.




Kediri, Januari 2010



Penyusun

i









TA’ARUD AL-DALILAIN

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS

MATA KULIAH USHUL FIQH

DOSEN PENGAMPU :

AHMAD KHALIL THAHIR.MHi



DISUSUN OLEH : MUHAMMAD SUFYAN

NOMOR NIM : 903300709




PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS JURUSAN USHULUDDIN

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )

KEDIRI

PERIODE 2009-2010


BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Ilmu Ushul Fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang penting dalam memahami syari’at Islam dari sumbr aslinya,Alqur’an dan Sunnah.Melalui ilmu ushul fiqh dapat diketahui kaidah-kaidah,prinsip-prinsip umum syari’at islam,cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia.

Adanya dalil ( petunjuk),menghendaki adanya madlul (yang ditunjuk).Karena yang dimaksud disini adalah “ dalil hukum “,maka madlulnya adalah hukum itu sendiri.

Setiap dalil hukum menghendaki adanya hukum yang berlaku terhadap sesuatu yang dikenai hukum.Bila ada suatu dalil yang menghendaki berlakunya hukum atas suatu kasus,tetapi disamping itu ada pula dalil lain yang menghendaki berlakunya hukum lain atas kasus itu,maka kedua dalil itu disebut berbenturan atau bertentangan.1Maka dari itu ulama’ ushul berusaha menemukan titik penyelesaian dari dua dalil yang secara dhohir terlihat kontradiksi itu.

Selanjutnya secara terperinci akan penulis jelaskan berdasarkan urutan daripada rumusan masalah.







  1. Rumusan Masalah

    1. Apa definisi Ta’arud Al adillah ?

    2. Bagaimana pendapat ulama tentang Ta’arud Al adillah?

    3. Bagaimana cara mengkompromikan Ta’rudul Adillah?

    4. Apa contohnya dalam Al qur’an ?



BAB II

PEMBAHASAN


  1. Pengertian

Secara etimologi, ta’rud (تعارض ) berarti pertentangan dan adillah ( الادلة ) adalah jama’ dari dalil ( الدليل ) yang berarti alasan,argumen,dan dalil.

Persoalan ta’rud al-adillah dibahas para ulama’ dalam ilmu ushul fiqh,ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.

Secara terminologi,ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqih tentang ta’rud al-adillah.

  1. Imam Syaukani,mendefinisikannya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan,sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.”2

  2. Kamal ibnu Humam (790-861 H/1387-1456 M) dan Al Taftahzani (w. 792 H),keduanya ahli fiqih Hanafi,mendefinisikannya dengan “Pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya.”3

  3. Ali Hasaballah (ahli ushul fiqih kontemporer dari mesir) medefinisikan dengan “Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya,yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.4

Kemudian pengertian satu derajat adalah antara ayat dengan ayat atau sunnah dengan sunnah



  1. Pendapat ulama’ tentang Ta arrud Al adillah.


Menurut Wahbah Al Zuhaili,pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid,sesuai dengan kemampuan pemahaman,analisis dan kekuatan logikanya bukan pertentangan actual,karena tidak mungkin terjadi bila Allah dan Rasul nya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan.5

Oleh sebab itu,menurut Imam Al-Syatibi,pertentangan itu bersifat semu,bias terjadi dalam dalil yang qoth’I (pasti benar) dan dalil yang dhanni (relative benar) selama kedua dalil itu satu derajat.

Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda,seperti pertentangan dalil yang qoth’i dengan dalil yang zhanni,maka yang diambil adalah dalil yang qath’I atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al Qur’an dengan hadits Ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu,dua atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al qur’an karena dari segi periwayatannya ayat-ayat Al aqur’an bersifat Qath’I,sedangkan hadits Ahad bersifat zhanni6


  1. Cara atau metode penyelesaian Ta’rudul adillah

Apabila seorang mujtahid menemukan dua dalil yang bertentangan,maka ia dapat menggunakan cara untuk berusaha untuk menyelesaikannya.Cara itu dikemukakan masing-masing oleh ulama’ Hanafiyah dan ulama’ Syafi’iyah.

    1. Menurut Hanafiyah.

Apabila Hanafiyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dngan cara:

      1. Nasakh

Nasakh,adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum pertama.Apabila dalam pelacakannya ditemukan bahwa satu dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainnya,maka yang diambil adalah dalil yang datang kemudian.

      1. Tarjih

Tarjih,adalah menguatkan salah satu diantara dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang dapat mendukungnya.Apabila masa turunnya atau datangnya kedua dalil tersebut tidak diketahui,maka seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap salah satu dalil,jika memungkinkan.Akan tetapi,dalam melakukan tarjih itu pun mujtahid tersebut harus mengemukakan alasan-alasan lain yang membuat ia menguatkan satu dalil dari dalil lainnya.Tarjih itu bisa dilakukan dari tiga sisi:

        1. Dari segi penunjuk kandungan lafadh suatu nash.Contohnya menguatkan nash yang muhkam (hukumnya pasti) dan tidak bisa di nasakhkan (dibatalkan) dari musafar (hukumnya pasti,tetapi masih bisa di nasakhkan)

        2. Dari segi hukum yang dikandungnya,seperti menguatkan dalil mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh

        3. Dari sisi keadilan periwayat suatu hadits.

      1. Al Jam’u wa Al Taufiq

Al Jam’u wa Al Taufiq yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengompromikannya.Apabila dengan cara tarjih pun tidak bisa diselesaikan,maka menurut ulama’ Hanafiyah,dalil-dall itu dikumpulkan dan dikompromikan.Dengan demikian,hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya,karena kaidah fiqih mengatakan:Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.7


      1. Tasaqut Al-Dalilain

Tasaqut Al-Dalilain yaitu mengugurkan kedua dalil yang bertentanan.Apabila cara ketiga diatas tidak bisa dilakukan oleh seorang mujtahid,maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut,dalam arti ia merujuk dalil yang tingkatannya dibawah derajat dalil yng bertentangan tersebut.

Apabila dalil yang bertentangan dan tidak bisa dinasakh atau ditarjih atau dikompromikan adalah antara dua ayat,maka mujtahid boleh mencari dalil yang kualitasnya dibawah ayat alqur’an,yaitu as sunnah.

Apabila kedua hadis yang berbicara tentang masalah yang ia selesaikan itu juga bertentnagn dan cara-cara diatas tidak bisa juga ditempuh,maka ia boleh mengambil pendapat sahabat.Hal ini ditujukan bagi mujtahid yang menjadikannya dalil syara’,sedangkan bagi yang tidak menerima kehujjahan pendapat sahabat dapat menetapkan hukumnya melalui qiyas (analogi)

Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan diatas,harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai kepada cara keempat.

    1. Menurut Syafi’iyah,Malikiyah,dan Zhahiriyah.

Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan mnurut Ulama’ Syafi’iyah,Malikiyah dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut:

      1. Jam’u wa Taufiq

Ulama’ Syafi’iyah,Malikiyah dan Zhahiriyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan dan mengompromikan kedua dalil tersebut sekalipun dari satu sisi saja.Alasan mereka adalah kaidah fiqih yang dikemukakan oleh Hanafiyah di atas yaitu “mengamalkan kedua dalil itu lebih baik daripada meninggalkan salah satu diantaranya.”Mengamalkan kedua dalil sekalipun dari satu segi menurut mereka dapat dilakukan dengan 3 cara,yaitu:

        1. Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi,maka lakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya.Apabila dua orang saling menyatakan bahwa rumah A adalah miliknya,maka kedua pernyataan itu jelas bertentangan dan sulit diselesaikan,karena pemilikan terhadap sesuatu bersifat menyeluruh.Akan tetapi,bila barang yang dipersengketakan adalah barang yang bisa dibagi,maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua rumah tersebut.

        2. Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang terbilang,seperti sabda Nabi yang menyatakan:

لا صلاة لجار المسجد الا في المسجد ( رواه ابو داود )

Atinya : “tidak dinamakan shalat bagi tetangga masjid kecuali dimasjid”.

Dalam hadits ini ada kata “ لا “ yang dalam ushul fiqh mempunyai pengertian banyak yaitu bisa berarti “tidak sah” juga bisa berarti “tidak sempurna”,dan juga bisa berarti “tidak utama”.Oleh sebab itu mujtahid boleh memilih salah satu pengertian mana saja asalkan didukung oleh dalil lain.

3. Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung bebrapa hukum,seperti kasus iddah bagi wanita hamil atau kasus persaksian.Surat Al baqoroh ayat 234 bersifat umum dan surat At-Tholaq ayat 4 bersifat khusus,maka dari satu sisi iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat At-Thalaq ayat 4.Ulama’ Hanafiyah menempuh cara ini dengan metode nasakh,bukan melalui pengkompromian.

b. Tarjih

Apabila pengompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan,maka mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya.Tata cara tarjih yang dikemukakan para ahli ushul fiqh bisa ditempuh dengan berbagai cara,umpamanya dengan menarjih yang perawinya sedikit,bisa juga melalui penarjihan sanad,bisa melalui penarjihan dari sisi matan (lafadz hadits) atau ditarjih berdasarkan indikasi lain diluar nash.

c. Naskh

Apabila dengan cara tarjih,kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan,maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandunng kedua dalil tersebut dengan syarat harus diketahui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian.Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan,seperti sabda Rasululloh yang artinya:

“Dahulu saya melarang kamu untuk menziarahi kubur,tetapi sekarang ziarahilah”.

Dalam hadits ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir.Hukum pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur,hukum yang kedua adalah diperbolehkan menziarahi kubur,karena tidak ada lagi ‘illat (motivasi) larangan yang dilihat Nabi SAW.

d. Tasaqut Al-Dalilaini

Apabila cara yang ketiga yaitu nasakh pun tidak bisa ditempuh,maka mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan.

Menurut ulama’ Syafiiyah,malikiyah dan Zhahiriyah keempat cara tersebut harus ditempuh oleh mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.8



  1. Contoh Ta’arud Al-Adillah

Contoh dalil yang berlawanan :

والّذين يتوفّون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهنّ اربعة اشهر وعشرا (البقرة : 234)

Artinya:

Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah para istri itu ) menangguhkan dirinya (ber-iddah) empat bulan sepuluh hari”.(Q.S. Al-Baqoroh:234)

Ayat ini memberikan petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan suaminya,iddahnya empat bulan spuluh hari,baik wanita itu hamil ataupun tidak hamil.Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada surat lain:

واولات الاحمال اجلهنّ ان يضعن حملهنّ ( الطلاق : 4 )

Artinya :

“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya”. ( Q.S.At-Talaq : 4)

Ayat ini memberikan petunjuk setiap permpuan yang hamil yang suaminya meninggal atau diceraikan suaminya,sedangkan mereka dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai melahirkan.Kalau dilihat sepintas,kilas dalam ayat pertama diterangkan bahwa iddah perempuan yang hamil yang ditinggalkan suaminya meninggal adalah empat bulan sepuluh hari dan menurut ayat yang kedua iddahnya sampai melahirkan,maka nampak kedua nash ini berlawanan kalau diterangkan pada kasus yang sama,inilah yang dinamakan Ta’arud.

  • Penjelasan :

Mengenai kedua dalil diatas,tidak dapat dikatakan terjadi perlawanan dua buah dalil kecuali bila kedua dalil tersebut sama kuat,dan kalau satu dalil itu lebih kuat maka wajib melaksanakan dalil terkuat dan dalil yang lemah wajib ditinggalkan.Karena itu tidak mungkin berlawanan antara dalil yang qoth’I dan dalil yang zhanni,tidak mungkin berlawanan antara nash dan ijma’ atau dengan qiyas.




KESIMPULAN

  1. Pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid,sesuai dengan kemampuan pemahaman,analisis dan kekuatan logikanya bukan pertentangan actual,karena tidak mungkin terjadi bila Allah dan Rasul nya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan.

  2. Apabila pertentangan terjadi antara kualitas dalil yang berbeda,seperti pertentangan dalil yang qoth’i dengan dalil yang zhanni,maka yang diambil adalah dalil yang qath’I atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al Qur’an dengan hadits Ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu,dua atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al qur’an karena dari segi periwayatannya ayat-ayat Al aqur’an bersifat Qath’I,sedangkan hadits Ahad bersifat zhanni

  3. Cara atau metode penyelesaian Ta’rudul adillah dikemukakan masing-masing oleh ulama’ Hanafiyah dan ulama’ Syafi’iyah

Hanafiyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dngan cara:

      1. Nasakh

b.Tarjih

c.Al Jam’u wa Al Taufiq

d.Tasaqut Al-Dalilain.

Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan diatas,harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai kepada cara keempat.

Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan mnurut Ulama’ Syafi’iyah,Malikiyah dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut:

a.Jam’u wa Taufiq

b. Tarjih

c. Naskh

d. Tasaqut Al-Dalilaini

Menurut ulama’ Syafiiyah,malikiyah dan Zhahiriyah keempat cara tersebut harus ditempuh oleh mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.

DAFTAR PUSTAKA


Al taftahzani,Syarh Al-Talwan Ala Al-Tawzih.Makkah Al Mukarramah,Dar Al-Baz.hal 103.

Hasaballah,Ali,Ushul Al Tasyri’ Al Islami,Dar Al Ma’arif.Mesir 1971.hlm,334

Ibn Al-Syaukani,Muhammad Ali,Irsyadul fuhul.Dar Alfikr,Beirut.hal:242

Syaifuddin,AmirUshul Fiqh Jilid I.Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997.

Umam,Kairul.Ushul Fiqih II.Bandung:Pustaka Setia,1998,186-192


1 .Amir Syaifuddin.Ushul Fiqh Jilid I.Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997.

2 Muhammad Ali ibn Al-Syaukani,Irsyadul fuhul.Dar Alfikr,Beirut.hal:242

3 Al taftahzani,Syarh Al-Talwan Ala Al-Tawzih.Makkah Al Mukarramah,Dar Al-Baz.hal 103.

4 Ali Hasaballah,Ushul Al Tasyri’ Al Islami,Dar Al Ma’arif.Mesir 1971.hlm,334


5 Wahbah al-Zuhaili,Ushul Al-Fiqh Al-Islami.Madkhal Ila Al UshulMashadir Al Tasyri’Al Hikm Al-Syar’i.Al-matba’ah Al-Jadidah,Damaskus,1975.hlm:1174

6 Abu Ishaq Al Syatibi,Al-Muwafaqat Ushul Al-Syar’i.Dar Al mukarromah,Beirut,1973.hlm.294

7 Khairul Umam,Ushul Fiqih II.Bandung:Pustaka Setia,1998,188.

8 Khairul Umam,Ushul Fiqih II.Bandung:Pustaka Setia,1998,186-192


















































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































1 Perhatikan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 2 dan 185.

2 Abdul Wahab Khallaf,‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990, hal. 24

3 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, Cet. VI, 1994, hal. 27.

4 Lihat Harun Nasution, Islamologi (Ilmu Kalam), Jakarta : UI Press, 1980, Cet. II, hal. 80.

5 Safi Hasan Abu Talib, op.cit, hal. 63-64.

6 Al-Ghazali, Loc.cit

7 Wizarah al-suun al-Islamiyah wa al-awqaf wa al-da’wah wa al-irsyad fi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, op.cit, hal. 117

8 Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka


9 M.Quraish. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Hal 243


10 Wizarah al-suun al-Islamiyah wa al-awqaf wa al-da’wah wa al-irsyad fi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, op.cit, hal. 138
























































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































1 Perhatikan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 2 dan 185.

2 Abdul Wahab Khallaf,‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990, hal. 24

3 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, Cet. VI, 1994, hal. 27.

4 Lihat Harun Nasution, Islamologi (Ilmu Kalam), Jakarta : UI Press, 1980, Cet. II, hal. 80.

5 Safi Hasan Abu Talib, op.cit, hal. 63-64.

6 Al-Ghazali, Loc.cit

7 Wizarah al-suun al-Islamiyah wa al-awqaf wa al-da’wah wa al-irsyad fi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, op.cit, hal. 117

8 Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka


9 M.Quraish. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Hal 243


10 Wizarah al-suun al-Islamiyah wa al-awqaf wa al-da’wah wa al-irsyad fi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, op.cit, hal. 138