Rabu, 20 Januari 2010

campur


SEJARAH PRAKODIFIKASI HADITS

(MASA NABI SAW, SAHABAT DAN TABI’IN)

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas

mata kuliah Ilmu Hadits



Dosen Pengampu : Mu’tashim Billah, MA.















Disusun oleh :


Lukman Hakim 933300809

Roisul Fathawiyana 933301009





Prodi Tafsir Hadits - Jurusan Ushuluddin

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri

2009

Pendahuluan


  1. Latar Belakang Masalah


Sebagaimana telah kita yakini bersama bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Quran. Tentu saja wajib bagi kita mengimani, mempelajari dan mengamalkan isi serta kandungannya.

Pada kesempatan kali ini akan sedikit diuraikan tentang sejarah prakodifikasi hadits, yakni di masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in. tentang bagaimana penjagaan kemurnian hingga proses penulisan dan pengumpulannya. Sehingga kita pun bisa mengetahui lebih dalam tentang asal usul sejarah awal hingga perkembangan pemeliharaannya.


  1. Rumusan Masalah

        1. Bagaimana kondisi hadits pada masa Nabi SAW?

        2. Bagaimana kondisi hadits pada masa sahabat?

        3. Bagaimana kondisi hadits pada masa tabi’in?








ILMU MAKKI DAN MADANI


  1. Pengertian Ilmu Makki dan Madani


Ilmu Makki dan Madani adalah ilmu yang membahas ihwal bagian Al Qur’an yang Makki (diturunkan di Makkah) dan bagian yang Madani (diturunkan di Madinah), baik dari segi arti dan maknanya, cara mengetahuinya, atau tanda masing-masingnya, maupun macam-macamnya.

Para ulama’ menetapkan bahwa masa turunnya ayat/surat adalah dasar penentuan Makkiyah atau Madaniyah. Maka dibuatlah definisi sebagai berikut :

“Makkiyah adalah yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun turunnya di luar Makkah. Sedangkan Madaniyah adalah yang diturunkan sesudah Nabi hijrah, meskipun turunnya di luar Makkah.


  1. Karakteristik / Ciri Khas Surat Makkiyah dan Madaniyah


    1. Karakteristik / Ciri Khas Surat Makkiyah

        1. Dimulai / berisi nida’ (panggilan) yang ditujukan kepada penduduk Makkah atau orang kafir, musyrik, dsb, dengan ungkapan : “Yaa ayyuhan Naasu” atau “Yaa ayyuhal Kaafiruun” atau “Yaa Banii Aadama”. Dalam Al Qur’an, bentuk nida’ tersebut ada 292 ayat.

        2. Di dalamnya terdapat lafadz “Kalla”. Dalam Al Qur’an disebutkan 33 kali di 25 surat terakhir dari Mushhaf Utsmani.

        3. Dimulai dengan huruf tahajji (huruf abjad atau yang terpotong-potong), seperti :

, dsb. Kecuali surat Al Baqarah dan Ali Imron. Terdapat 27 surat.

        1. Di dalamnya terdapat ayat-ayat sajdah.

        2. Di dalamnya terdapat kisah para Nabi dan umat terdahulu, selain surat Al Baqarah dan Al Maidah.

        3. Kebanyakan surat / ayat-ayatnya pendek-pendek, nda perkataanya keras dan agak bersajak.

        4. Mengandung seruan untuk beriman kepada Allah dan hari akhir serta menggambarkan keadaan syurga dan neraka.

        5. Berisi ajaran prinsip-prinsip akhlak yang mulia dan pranata social yang tinggi.

        6. Mendebat orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan pendirian mereka.

        7. Banyak terdapat lafadz qosam (sumpah).


    1. Karakteristik / Ciri Khas Surat Madaniyah

        1. Berisi izin jihad fi sabilillah dan hukum-hukumnya, seperti surat Al Baqarah, Al Anfal, At Taubah dan Al Hajj.

        2. Berisi hukum-hukum pidana, faraidh, ibadah, muamalah, munakahat (pernikahan), dan hukum-hukum kemasyarakatan, kenegaraan, pergaulan, dsb.

        3. Di dalamnya menyinggung hal ihwal orang munafiq, kecuali surat Al Ankabut.

        4. Mendebat kepercayaan ahli kitab dan mengajak mereka tidak berlebihan dalam beragama.

        5. Kebanyakan surat/ayat-ayatnya panjang-panjang, sehingga jelas dalam mene-rangkan hukum karena ungkapannya luas dan uslubnya terang.

        6. Berisi ayat-ayat nida’ (panggilan) yang ditunjukkan kepada penduduk Madinah dan seruan : “Yaa ayyuhal Ladziina Aamanuu”, terdapat 219 ayat dalam Al Qur’an.


  1. Urgensi / Kegunaan Ilmu Makki dan Madani


    1. Mudah diketahui mana ayat-ayat yang turun lebih dahulu dari Al Qur’an.

    2. Dapat membedakan dan mengetahui ayat yang nasikh dan mansukh.

    3. Mengetahui dan mengerti sejarah pensyari’atan hukum-hukum Islam (Taarikhut Tasyri’) yang amat bijaksana dalam menetapkan peraturan-peraturan.

    4. Mengetahui hikmah disyari’atkannya suatu hukum.

    5. Meningkatkan keyakinan terhadap kebenaran, kesucian, dan kemurnian Al Qur’an.

    6. Mengetahui tahap-tahap dakwah Islamiyah dalam Al Qur’an secara berangsur dan bijaksana.

    7. Mengerti perbedaan uslub (bentuk bahasa) Al Qur’an, karena perbedaan golongan yang dituju / yang dimaksud.

    8. Dapat mengetahui situasi dan kondisi lingkungan masyarakat pada waktu turunnya Al Qur’an, khususnya masyarakat Makkah dan Madinah.


Daftar Pustaka


H.A., Abdul Djalal, Prof. Dr. 2008. Ulumul Qur’an. Dunia Islam. Jakarta.

http://ridwan202.worpress.com/istilah-agama/ilmul-maki-wal-madani/



Roisul Fathawiyana – 933301009

Tafsir Hadits – Ushuluddin


























Pembahasan


  1. Hadits Pada Masa Nabi SAW


Apabila membicarakan hadits pada masa Rasulullah berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan langsung dengan pribadi Rasulullah sebagai sumber hadits. Wahyu yang diturunkan Allah swt kepada Rasulullah dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan dan penetapannya (taqrir), sehingga apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi ‘amaliyah dan ‘ubudiyah mereka.

Satu keistimewaan pada masa ini yang membedakan dengan masa lainnya yakni umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadits dari Rasulullah sebagai sumber hadits. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka. Beberapa cara yang dilakukan oleh Rasulullah dalam menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu:

  1. Melalui para jama’ah yang berada di pusat pembinaan atau majelis ‘ilmi. Melalui majelis ini, para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits secara langsung dari Rasulullah.

  2. Rasulullah menyampaikan pada sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya pada sahabat yang lain.

  3. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathu makkah.

Hadits pada waktu itu umumnya hanya diingat dan dihafal oleh sahabat dan tidak ditulis seperti Al Quran ketika disampaikan Nabi, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Secara resmi memang Nabi melarang menulis hadits bagi umum karena khawatir akan bercampur dengan Al Quran. Bagaimana tidak? Al Quran dan hadits sama-sama berbahasa arab dan sama-sama disampaikan melalui lisan Rasul bagi hadits qouli. Jika Al Quran dan hadits ditulis dengan sarana dan prasarana yang sangat sederhana itu (berupa pelepah kurma, kulit binatang, dsb), maka akan sulit untuk membedakan antara keduanya.

Ada hadits yang melarang para sahabat untuk menulisnya, tetapi banyak juga hadits yang menganjurkan penulisannya. Hadits yang melarang penulisan hadits diantaranya sebagai berikut:

عن أبي سعيد الخدري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لا تكتبوا عني, ومن كتب عني غير القرأن فليمحه (رواه مسلم)

Artinya:

Dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwa Rasulullah saw bersabda: Janganlah kalian menulis sesuatu dariku, barang siapa yang menulis apa saja dariku selain Al Quran maka hapuslah”. (HR Muslim)

Hadits yang memperbolehkan penulisan sunah diantaranya:

  1. Dari Abu Hurairah ra bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat Anshar menyaksikan hadits dari Rasulullah tetapi tidak hapal, kemudian bertanya kepada Abu Hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian ia mengadu pada Rasulullah tentang hafalannya yang minim tersebut, maka Nabi bersabda:

إستعن على حفظك بيمينك (رواه الترمذى)

Bantulah hafalanmu dengan tanganmu. (HR At Tirmidzi)

  1. Dari Abu Hurairah ra pada saat Nabi menaklukkan Makkah, beliau berdiri dan berkhutbah. Maka berdirilah seorang laki-laki dari Yaman bernama Abu Syah dan bertanya: “Tuliskanlah aku?”. Maka Rasulullah bersabda:

أكتبوا لابي شاة وفي رواية أحمد : أكتبوا له

Tuliskanlah untuk Abu Syah (HR Al Bukhori dan Abu Dawud). Dalam riwayat Imam Ahmad: Tuliskanlah dia.

Dalam mencari solusi dua versi hadits yang kontra di atas para ulama’ berbeda pendapat, diantaranya:

  1. Bahwa hadits yang melarang penulisan dihapus (di-nasakh) dengan hadits mem-perbolehkannya.

  2. Dengan melakukan takhshish al ‘amm. Maksud larangan dalam hadits bagi orang yang kuat hafalannya atau yang kurang ahli dalam menulis karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Al Quran. Sedang kebolehannya bagi orang yang lemah hafalannya seperti Abu Syah atau bagi sahabat yang ahli dalam menulis seperti Abdullah bin Amr bin Al Ash. Jadi ia bersifat kondisional.

  3. Al Bukhori berpendapat, hadits larangan penulisan yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri mawquf padanya saja. Bahkan semua hadits larangan penulisan bersifat dha’if, kurang kuat dijadikan alasan. Dengan demikian penulisan hadits tetap diperbolehkan dalam rangka memelihara sunnah sebagai sumber syari’ah Islamiyah sampai sekarang dan kesimpulan inilah yang disepakati oleh para ulama’.


  1. Hadits Pada Masa Sahabat

Setelah Nabi SAW wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadits. Mereka sangat berpegang teguh pada pesan Rasulullah menjelang akhir kerasulannya. Sebagaimana sabdanya:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبدا ما إن تمسكتم بهما كتا ب الله و سنة رسوله (رواه الحاكم)

Artinya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya niscaya tidak akan tersesat. Yakni kitabullah dan sunnah RasulNya.

Dan sabdanya pula:

بلغوا عني ولو أية (رواه البخاري)

Artinya: “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat.


Usaha yang dilakukan oleh para sahabat (Khulafaur Rasyidin) dalam menjaga otentitas riwayat tidak sama. Pada masa Abu Bakar dan Umar, usaha penyaringan diseleksi dengan cara persaksian (syahadah) terhadad riwayat yang disampaikannya. Pada masa Utsman, penyaringan terhadap riwayat mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Umar, bahkan diceritakan ia pernah menyampaikan khutbah dan menyatakan “Seseorang tidak dibenarkan meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah saw yang aku tidak pernah mendengarnya pada masa Abu Bakar dan Umar”. Pada masa Ali, selain melalui persaksian, ia menggunakan metode lain dalam menerima suatu riwayat yakni dengan disertai sumpah bahwa ia telah mendengar riwayat dari Rasulullah. Oleh karena itu pada masa Khulafaur Rasyidin ini disebut sebagai masa pembatasan riwayat (taqlil ar riwayah).

Pembatasan periwayatan hadits yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, bukan berarti mereka tidak meriwayatkan hadits Rasul sama sekali, tapi dalam batas-batas tertentu.

Hukum kebolehan menulis hadits terjadi secara berangsur-angsur (at-tadarruj). Pada saat wahyu turun, umat Islam berkonsentrasi untuk menghafal dan menulisnya. Sunnah hanya disimpan dalam dada, disampaikan dari lisan ke lisan dan dipraktikkan dalam kehidupan. Kemudian setelah Al Quran dapat terpelihara dengan baik, mereka telah mampu membedakannya dengan catatan sunnah, dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan Al Quran, sehingga para ulama’ sepakat bolehnya penulisan dan pengkodifikasian sunnah.

Banyak sekali pada masa awal Islam penulisan hadits sebagai catatan pribadi bukan penulisan resmi dari khilafah, diantaranya:

  1. Ash Shahifah Ash Shadiqah, tulisan Abdullah bin Amr bin Ash (w. 65 H), memuat kurang lebih 1000 hadits.

  2. Ash Shahifah Jabir bin ‘Abd Allah Al Anshari (w. 78 H) tentang manasik haji yang kemudian diriwayatkan oleh Muslim.

  3. Ash Shahifah Ash Shahihah, catatan seorang tabi’in Hammam bin Munabbih. Haditsnya banyak diriwayatkan dari Abu Hurairah sebanyak 138 hadits. Haditsnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh Al Bukhari dalam berbagai bab.

  4. Ash Shahifah ‘Ali, tulisan yang Nabi perintahkan kepada Abu Syah pada masa fath (penaklukan) Makkah.

Selain itu, ada 6 orang di antara sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan hadits ialah:

  1. Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadits

  2. Abdullah bin Umar bin Al Khathab sebanyak 2.635 buah hadits

  3. Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadits

  4. Aisyah binti Abu Bakar sebanyak 2.210 buah hadits

  5. Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadits

  6. Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadits

Para sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadits ada beberapa alas an, diantaranya karena lebih dahulu bersahabat dengan Nabi seperti Abdullah bin Mas’ud, atau karena banyak berkhidmah dengan beliau seperti Anas bin Malik, atau karena banyak menyaksikan internal dalam rumah tangga beliau seperti Aisyah, dan atau karena ketekunannya dalam Hadits seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr, dan Abu Hurairah.

Pada masa Ali, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat pergolakan politik yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah, diantaraya Khawarij, Syi’ah (pendukung Ali), dan Jumhur Muslimin (ada yang mendukung Ali, Mu’awiyah, dan ada pula yang netral). Akibatnya banyak muncul hadits palsu (maudhu’) yang dibuat masing-masing kelompok itu untuk membenarkan kelompok mereka masing-masing. Menghadapi hal ini, para ulama’ di kalangan sahabat berusaha menjaga kemurnian hadits dengan lebih serius dan sungguh-sungguh, diantaranya dengan mengadakan perlawatan ke berbagai Negara Islam (rihlah) untuk mengecek kebenaran hadits yang telah sampai kepada mereka baik dari segi matan maupun sanad. Dan hasil perlawatan itu disampaikan kepada umat Islam secara transparan.

Demikian perhatian para sahabat terhadap sunnah. Mereka mereka rela meninggalkan kampong halaman dan rela mengorbankan harta benda untuk bekal perjalanan mencari hadits dari para sahabat senior yang telah tersebar di berbagai kota dalam tugas dakwahnya.


  1. Hadits Pada Masa Tabi’in


Pada masa ini persoalan yang dihadapi sudah berbeda dengan pada masa sahabat. Al Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushhaf, begitu pula wilayah kekuasaan Islam sudah semakin luas, sehingga para sahabat banyak yang terpencar di berbagai kota dan banyak pula yang telah gugur dalam peperangan dan sebagainya. Keadaan yang seperti ini mendorong Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) untuk menghimbau adanya penghimpunan dan pembukuan hadits secara menyeluruh, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama’ baik di kalangan sahabat maupun tabi’in. Maka beliau menginstruksikan kepada para gubernur di seluruh wilayah negeri Islam agar para ulama’ dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadits.

Belum diketahui secara pasti siapa di antara ulama’ yang lebih dahulu melaksanakan instruksi tersebut. Namun pendapat yang paling popular adalah Muhammad bin Muslin bin Asy Syihab Az Zuhri. Ini diperkuat dengan penegasan Al Hafidz As Syuyuthi:

اول جامعا لحديث والاثر ابن شها ب امر له عمر

Orang pertama penghimpun hadits dan atsar ialah Ibn Syihab atas perintah Umar bi Abdul Aziz”.

Pembukuan hadits yang dilakukan oleh Ibnu Syihab itu merupakan pembukuan secara umum dan menyeluruh serta atas instruksi langsung dari seorang Khalifah pada masa pemerintahan Islam saat itu, yakni pada pertengahan awal abad kedua hijriyah.

Di antara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah:

  1. Al Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik.

  2. Al Mushannaf oleh Abdul Rozaq bin Hammam Ash Shan’ani.

  3. As Sunnah oleh Abd bin Manshur.

  4. Al Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah.

  5. Musnad Asy Syafi’i.

Kitab-kitab hadits pada masa ini tidak sampai kepada kita kecuali Al Muaththa’ dan Musnad Asy Syafi’i.













Penutup


Kesimpulan


Pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW/sebelum Rasul wafat, hadits itu masih benar-benar terjaga kemurniannya, semua umat Islam bisa langsung menanyakan masalahnya kepada Rasul. Dan pada masa ini Rasul menyuruh sahabat menghafal hadits, namun melarang mereka menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Al Quran.

Pada masa sahabat masih focus pada pemeliharaan Al Quran dan periwayatan hadits masih dibatasi. Meskipun sudah ada beberapa sahabat yang memiliki catatan hadits yang dipakai untuk pribadi dan belum mendapat perintah resmi dari khalifah.

Lalu pada masa tabi’in ini sudah dilakukan penulisan dan pengkodifikasian hadits yang diinstruksikan langsung oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikarenakan sudah semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan semakin banyaknya ulama’ serta ahli ilmu yang gugur dalam peperangan. Dan semua itu membuat Khalifah khawatir akan menyebabkan lenyapnya hadits Nabi sehingga turunlah instruksi penghimpunan hadits.




Bibliografi


Khon, Abdul Majid, Dr. H. 2008. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.

Al-Maliki, Muhammad Alawi, Prof. Dr. 2006. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rudliyana, Muhammad Dede. 2004. Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits Dari Klasik Sampai Modern. Bandung: Pustaka Setia.

WAS, Ahmad Taufiq, H. 2009. Modul Ilmu Hadits Program Aliyah Keagamaan. Malang: MAN 3 Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar