DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I : PENDAHULUAN 1
BAB II : PEMBASAHAN 2
Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum 3
Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum 6
Hubungan Al-Hadits/As-Sunnah Dengan Al-Qur’an 7
BAB III : PENUTUP 11
Kesimpulan 11
DAFTAR PUSTAKA 12
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Quran dan Nabi dengan sunnahnya merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi ”jantung” umat Islam. Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karena sangat wajar dan logis bila perhatian dan apresiasi terhadap keduanya melebihi perhatian dan apresiasi terhadap bidang yang lain.
Seperti kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan buku petunjuk (kitab hidayah) khususnya bagi umat Islam serta umat manusia pada umumnya.1 Al-Qur’an juga menjadi Manhajul hayah (Kurikulum kehidupan) bagi manusia di dalam meniti hidup di gelanggang kehidupan ini. Satu hal yang juga disepakati oleh seluruh ummat Islam ialah kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, pembahasan berikut akan menjelaskan berbagai alasan (hujjah) yang menguatkan kesepakatan umat tersebut.
BAB II
PEMMBAHASAN
Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf2 bahwa kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata lain Al-Qur’an itu betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara qat’iy (pasti). Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Sementara M. Quraish Shihab3 menjelaskan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu , merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Qur’an diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar. Keberadaan al-Qur’an sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Qur’an bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya4. Bagi Mu’tazilah al-Qur’an berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Di dalam al-Qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk al-Qur’an terkadang memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan karena itu pula al-Qur’an diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya disuruh spuasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam al-Qur’an, melainkan dalam hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih.
Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Qur’an sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya –di samping semua kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Qur’an semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah.
1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum yang paling utama, dengan kata lain, al-Qur’an menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. al-Qur’an dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi’ Hasan Abi Thalib5 menegaskan :
يعتبر القران المصدر الاول الاحكام الشرعية اما بقية المصادر فهى تابعة له ومتفرعة عنه ومن ثم يحتل المرتبة الاولى فى الاستبدال فلا يجوز العدول عنه الى غيره الا اذا خلا من حكم للحالة المعروضة
Al-Qur’an dipandang sebagai sumber utama bagi hعkum-hukum syari’at. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari al-Qur’an. Dan dari sini, jelas bahwa al-Qur’an menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari al-Qur’an, karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada al-Qur’an. Al-Ghazali6 bahkan mengatakan , pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT.
بان اصل الاحكام واحد وهو قول الله تعالى اذ قول الرسول صلى الله تعالى عليه و سلم ليس بحكم ولا ملزم بل هو مخبر عن الله تعالى انه حكم بكذه و كذا
Dari uraian di atas jelas bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah, menjadi sumber utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya.
Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat disebut dengan Kaifiyah dalalah al-lafdz ‘ala al-ma’na.
Dalam kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qat’iy dan zanniy. Terma ini digunakan untuk nash-nash yang lafalnya menunjukkan kepada pengertian atau makna yang sudah jelas dan tegas serta tidak mungkin diragukan.7
Tentang terma qat’iy dan hubungannya dengan nash, maka ulama ushul membaginya kepada dua macam yaitu :
Qat’iy al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
Qat’iy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut.
Sedangkan terma Zanniy dan hubungannya dengan nash, terbagi dua macam pula yaitu :
1. Zanniy al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir
2. Zanniy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang masih mungkin untuk ditakwilkan atau mengandung pengertian lain dari arti literalnya.
Dalam hubungan ini, bila dihubungkan dengan al-Qur’an dari segi keberadaannya adalah qat’iy al-Wurud karena al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya. Bila al-Qur’an dilihat dari segi dalalahnya, maka ada yang qat’iy dalalah dan zanniy dalalah.
Umumnya nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan qat’iy al-dalalah ini, lafal dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat nama dan jenis.
Salah satu contoh ayat yang qat’iy al-dalalah :
ولكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد ...
Dan bagi kamu (suami-suami) mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak … (QS. Al-Nisa : 12)
Ayat ini berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Ayat ini dalalahnya qat’iy, jelas dan tegas, karena terdapat kata nisfun (seperdua) yang tidak ada pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu.
Kemudian , nash al-Qur’an di samping qat’iy al-dalalah ada juga yang zanniy al-dalalah. Nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan pada kelompok yang disebutkan terakhir ini adalah bila lafal-lafalnya diungkapkan dalam bentuk ‘am, musytarak, dan mutlaq. Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah ushuliyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Dalam penelitian ulama ushul ternyata banyak nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan zanniy al-dalalah ini, dan pada bagian ini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ulama ushul. Contoh berikut ini dapat dilihat secara jelas :
و المطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء ...
Wanita-wanita yang ditalak (diceraikan) hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru. (QS. Al-Baqarah : 228)
Yang menjadi persoalan di sini adalah pengertian kata “quru” yang musytarak yaitu mengandung arti lebih dari satu. Kadang dalam bahasa Arab diartikan “al-Tohr” (suci) dan kadang-kadang diartikan pula al-Haydoh (haid). Masing-masing dari arti dari lafadz quru ini menghasilkan deduksi hukum yang berbeda. Artinya jika quru diartikan dengan suci dan tentu masa ‘iddahnya lebih lama atau lebih panjang daripada arti haid. Hal ini karena penghitungannya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara berturut-turut tiga kali.
Berbeda halnya jika lafal quru diartikan dengan haid, artinya jika wanita yang ditalak oleh suaminya telah nya dan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa ‘iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih).
Pada prakteknya kalangan mazhab Hanafi berpegang bahwa lafal quru berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci. Sementara itu kalangan mazhab Syafi’i berpendapatr bahwa lafal quru berarti suci, karena qarinahnya menunjukkan kata bilangan muannas (jenis perempuan) sedangkan yang terbilang (al-ma’dud) adalah muzakar yaitu al-tohr. Demikian penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya.
Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa dalil nash yang dikelompokkan kepada zanniy al- dalalah memberi peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid di dalam mengambil istinbat hukum, sehingga tidak bisa dihindari terjadinya produk hukum yang berbeda.
DASAR ALASAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam8. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:
Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah
HUBUNGAN AL-HADITS/AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”.
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.9
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)10
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.
Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:
Berpuasa Wishal
Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
Boleh beristri lebih dari empat wanita
Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
2. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
Shalat Dhuha’
Qiyamullail
Bersiwak
Bermusyawarah
Menyembelih kurban (udhhiyah)
3. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
Menerima harta zakat
Makan makanan yang berbau
Haram menikahi wanita ahlulkitab
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut:
Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).
Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; bayan tafsir yang menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; Bayan Taqrir, berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, dan; Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an
Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.
Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka
Quraish, M. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan
_______________ Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, Cet. III, 1996.
Al-Birri, Zakaria, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo : Dar al-Ittihad al-Arabi Littiba’ah, 1975.
Al-Ghazali, al-Mustasfa Min ‘Ilmi al-Ushul, Mesir : Maktabah al-Jumdiyah, 1971
Khallaf, Abdul Wahab,‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990, halaman 24.
Nasution, Harun, Islamologi (Ilmu Kalam), Jakarta : UI Press, Cet. II, 1980
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2000
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I. 1999.
Talib, Safi Hasan Abu, Tatbiq al-Syari’ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah, Cet. III, 1990
Wizarah al-suun al-Islamiyah wa al-awqaf wa al-da’wah wa al-irsyad fi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, al-Madinah al-Munawwarah : Majma al-Malik Fahd Litiba’ah al-Mushaf al-Syarif.
KATA PENGANTAR
Untaian rasa syukur kepada Allah SWT, karena limpahan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Ulumul Hadits dengan tepat waktu. Semoga tugas ini dapat menambah pengetahuan tentang Al Qur’an dan Hadits sebagai hukum khususnya hukum Islam dan landasan kita dalam bermuamalah
Terimakasih kepada teman teman yang membantu dalam penyelesaian makalah ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Mengingat keterbatasan kemampuan kami, dengan penuh kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran guna koreksi pada tugas tugas berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembacanya.
Kediri, Januari 2010
Penyusun
i
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I : PENDAHULUAN 1
BAB II : PEMBASAHAN 2
Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum 3
Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum 6
Hubungan Al-Hadits/As-Sunnah Dengan Al-Qur’an 7
BAB III : PENUTUP 11
Kesimpulan 11
DAFTAR PUSTAKA 12
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Quran dan Nabi dengan sunnahnya merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi ”jantung” umat Islam. Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karena sangat wajar dan logis bila perhatian dan apresiasi terhadap keduanya melebihi perhatian dan apresiasi terhadap bidang yang lain.
Seperti kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan buku petunjuk (kitab hidayah) khususnya bagi umat Islam serta umat manusia pada umumnya.1 Al-Qur’an juga menjadi Manhajul hayah (Kurikulum kehidupan) bagi manusia di dalam meniti hidup di gelanggang kehidupan ini. Satu hal yang juga disepakati oleh seluruh ummat Islam ialah kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, pembahasan berikut akan menjelaskan berbagai alasan (hujjah) yang menguatkan kesepakatan umat tersebut.
BAB II
PEMMBAHASAN
Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf2 bahwa kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata lain Al-Qur’an itu betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara qat’iy (pasti). Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Sementara M. Quraish Shihab3 menjelaskan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu , merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Qur’an diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar. Keberadaan al-Qur’an sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Qur’an bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya4. Bagi Mu’tazilah al-Qur’an berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Di dalam al-Qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk al-Qur’an terkadang memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan karena itu pula al-Qur’an diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya disuruh spuasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam al-Qur’an, melainkan dalam hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih.
Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Qur’an sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya –di samping semua kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Qur’an semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah.
1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum yang paling utama, dengan kata lain, al-Qur’an menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. al-Qur’an dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi’ Hasan Abi Thalib5 menegaskan :
يعتبر القران المصدر الاول الاحكام الشرعية اما بقية المصادر فهى تابعة له ومتفرعة عنه ومن ثم يحتل المرتبة الاولى فى الاستبدال فلا يجوز العدول عنه الى غيره الا اذا خلا من حكم للحالة المعروضة
Al-Qur’an dipandang sebagai sumber utama bagi hعkum-hukum syari’at. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari al-Qur’an. Dan dari sini, jelas bahwa al-Qur’an menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari al-Qur’an, karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada al-Qur’an. Al-Ghazali6 bahkan mengatakan , pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT.
بان اصل الاحكام واحد وهو قول الله تعالى اذ قول الرسول صلى الله تعالى عليه و سلم ليس بحكم ولا ملزم بل هو مخبر عن الله تعالى انه حكم بكذه و كذا
Dari uraian di atas jelas bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah, menjadi sumber utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya.
Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat disebut dengan Kaifiyah dalalah al-lafdz ‘ala al-ma’na.
Dalam kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qat’iy dan zanniy. Terma ini digunakan untuk nash-nash yang lafalnya menunjukkan kepada pengertian atau makna yang sudah jelas dan tegas serta tidak mungkin diragukan.7
Tentang terma qat’iy dan hubungannya dengan nash, maka ulama ushul membaginya kepada dua macam yaitu :
Qat’iy al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
Qat’iy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut.
Sedangkan terma Zanniy dan hubungannya dengan nash, terbagi dua macam pula yaitu :
1. Zanniy al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir
2. Zanniy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang masih mungkin untuk ditakwilkan atau mengandung pengertian lain dari arti literalnya.
Dalam hubungan ini, bila dihubungkan dengan al-Qur’an dari segi keberadaannya adalah qat’iy al-Wurud karena al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya. Bila al-Qur’an dilihat dari segi dalalahnya, maka ada yang qat’iy dalalah dan zanniy dalalah.
Umumnya nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan qat’iy al-dalalah ini, lafal dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat nama dan jenis.
Salah satu contoh ayat yang qat’iy al-dalalah :
ولكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد ...
Dan bagi kamu (suami-suami) mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak … (QS. Al-Nisa : 12)
Ayat ini berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Ayat ini dalalahnya qat’iy, jelas dan tegas, karena terdapat kata nisfun (seperdua) yang tidak ada pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu.
Kemudian , nash al-Qur’an di samping qat’iy al-dalalah ada juga yang zanniy al-dalalah. Nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan pada kelompok yang disebutkan terakhir ini adalah bila lafal-lafalnya diungkapkan dalam bentuk ‘am, musytarak, dan mutlaq. Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah ushuliyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Dalam penelitian ulama ushul ternyata banyak nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan zanniy al-dalalah ini, dan pada bagian ini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ulama ushul. Contoh berikut ini dapat dilihat secara jelas :
و المطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء ...
Wanita-wanita yang ditalak (diceraikan) hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru. (QS. Al-Baqarah : 228)
Yang menjadi persoalan di sini adalah pengertian kata “quru” yang musytarak yaitu mengandung arti lebih dari satu. Kadang dalam bahasa Arab diartikan “al-Tohr” (suci) dan kadang-kadang diartikan pula al-Haydoh (haid). Masing-masing dari arti dari lafadz quru ini menghasilkan deduksi hukum yang berbeda. Artinya jika quru diartikan dengan suci dan tentu masa ‘iddahnya lebih lama atau lebih panjang daripada arti haid. Hal ini karena penghitungannya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara berturut-turut tiga kali.
Berbeda halnya jika lafal quru diartikan dengan haid, artinya jika wanita yang ditalak oleh suaminya telah nya dan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa ‘iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih).
Pada prakteknya kalangan mazhab Hanafi berpegang bahwa lafal quru berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci. Sementara itu kalangan mazhab Syafi’i berpendapatr bahwa lafal quru berarti suci, karena qarinahnya menunjukkan kata bilangan muannas (jenis perempuan) sedangkan yang terbilang (al-ma’dud) adalah muzakar yaitu al-tohr. Demikian penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya.
Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa dalil nash yang dikelompokkan kepada zanniy al- dalalah memberi peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid di dalam mengambil istinbat hukum, sehingga tidak bisa dihindari terjadinya produk hukum yang berbeda.
DASAR ALASAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam8. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:
Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah
HUBUNGAN AL-HADITS/AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”.
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.9
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)10
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.
Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:
Berpuasa Wishal
Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
Boleh beristri lebih dari empat wanita
Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
2. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
Shalat Dhuha’
Qiyamullail
Bersiwak
Bermusyawarah
Menyembelih kurban (udhhiyah)
3. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
Menerima harta zakat
Makan makanan yang berbau
Haram menikahi wanita ahlulkitab
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut:
Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).
Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; bayan tafsir yang menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; Bayan Taqrir, berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, dan; Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an
Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.
Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka
Quraish, M. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan
_______________ Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, Cet. III, 1996.
Al-Birri, Zakaria, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo : Dar al-Ittihad al-Arabi Littiba’ah, 1975.
Al-Ghazali, al-Mustasfa Min ‘Ilmi al-Ushul, Mesir : Maktabah al-Jumdiyah, 1971
Khallaf, Abdul Wahab,‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990, halaman 24.
Nasution, Harun, Islamologi (Ilmu Kalam), Jakarta : UI Press, Cet. II, 1980
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2000
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I. 1999.
Talib, Safi Hasan Abu, Tatbiq al-Syari’ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah, Cet. III, 1990
Wizarah al-suun al-Islamiyah wa al-awqaf wa al-da’wah wa al-irsyad fi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, al-Madinah al-Munawwarah : Majma al-Malik Fahd Litiba’ah al-Mushaf al-Syarif.
KATA PENGANTAR
Untaian rasa syukur kepada Allah SWT, karena limpahan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Ulumul Hadits dengan tepat waktu. Semoga tugas ini dapat menambah pengetahuan tentang Al Qur’an dan Hadits sebagai hukum khususnya hukum Islam dan landasan kita dalam bermuamalah
Terimakasih kepada teman teman yang membantu dalam penyelesaian makalah ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Mengingat keterbatasan kemampuan kami, dengan penuh kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran guna koreksi pada tugas tugas berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembacanya.
Kediri, Januari 2010
Penyusun
i
TA’ARUD AL-DALILAIN
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS
MATA KULIAH USHUL FIQH
DOSEN PENGAMPU :
AHMAD KHALIL THAHIR.MHi
DISUSUN OLEH : MUHAMMAD SUFYAN
NOMOR NIM : 903300709
PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
KEDIRI
PERIODE 2009-2010
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Ilmu Ushul Fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang penting dalam memahami syari’at Islam dari sumbr aslinya,Alqur’an dan Sunnah.Melalui ilmu ushul fiqh dapat diketahui kaidah-kaidah,prinsip-prinsip umum syari’at islam,cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia.
Adanya dalil ( petunjuk),menghendaki adanya madlul (yang ditunjuk).Karena yang dimaksud disini adalah “ dalil hukum “,maka madlulnya adalah hukum itu sendiri.
Setiap dalil hukum menghendaki adanya hukum yang berlaku terhadap sesuatu yang dikenai hukum.Bila ada suatu dalil yang menghendaki berlakunya hukum atas suatu kasus,tetapi disamping itu ada pula dalil lain yang menghendaki berlakunya hukum lain atas kasus itu,maka kedua dalil itu disebut berbenturan atau bertentangan.1Maka dari itu ulama’ ushul berusaha menemukan titik penyelesaian dari dua dalil yang secara dhohir terlihat kontradiksi itu.
Selanjutnya secara terperinci akan penulis jelaskan berdasarkan urutan daripada rumusan masalah.
Rumusan Masalah
Apa definisi Ta’arud Al adillah ?
Bagaimana pendapat ulama tentang Ta’arud Al adillah?
Bagaimana cara mengkompromikan Ta’rudul Adillah?
Apa contohnya dalam Al qur’an ?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Secara etimologi, ta’rud (تعارض ) berarti pertentangan dan adillah ( الادلة ) adalah jama’ dari dalil ( الدليل ) yang berarti alasan,argumen,dan dalil.
Persoalan ta’rud al-adillah dibahas para ulama’ dalam ilmu ushul fiqh,ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.
Secara terminologi,ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqih tentang ta’rud al-adillah.
Imam Syaukani,mendefinisikannya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan,sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.”2
Kamal ibnu Humam (790-861 H/1387-1456 M) dan Al Taftahzani (w. 792 H),keduanya ahli fiqih Hanafi,mendefinisikannya dengan “Pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya.”3
Ali Hasaballah (ahli ushul fiqih kontemporer dari mesir) medefinisikan dengan “Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya,yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.4
Kemudian pengertian satu derajat adalah antara ayat dengan ayat atau sunnah dengan sunnah
Pendapat ulama’ tentang Ta arrud Al adillah.
Menurut Wahbah Al Zuhaili,pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid,sesuai dengan kemampuan pemahaman,analisis dan kekuatan logikanya bukan pertentangan actual,karena tidak mungkin terjadi bila Allah dan Rasul nya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan.5
Oleh sebab itu,menurut Imam Al-Syatibi,pertentangan itu bersifat semu,bias terjadi dalam dalil yang qoth’I (pasti benar) dan dalil yang dhanni (relative benar) selama kedua dalil itu satu derajat.
Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda,seperti pertentangan dalil yang qoth’i dengan dalil yang zhanni,maka yang diambil adalah dalil yang qath’I atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al Qur’an dengan hadits Ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu,dua atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al qur’an karena dari segi periwayatannya ayat-ayat Al aqur’an bersifat Qath’I,sedangkan hadits Ahad bersifat zhanni6
Cara atau metode penyelesaian Ta’rudul adillah
Apabila seorang mujtahid menemukan dua dalil yang bertentangan,maka ia dapat menggunakan cara untuk berusaha untuk menyelesaikannya.Cara itu dikemukakan masing-masing oleh ulama’ Hanafiyah dan ulama’ Syafi’iyah.
Menurut Hanafiyah.
Apabila Hanafiyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dngan cara:
Nasakh
Nasakh,adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum pertama.Apabila dalam pelacakannya ditemukan bahwa satu dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainnya,maka yang diambil adalah dalil yang datang kemudian.
Tarjih
Tarjih,adalah menguatkan salah satu diantara dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang dapat mendukungnya.Apabila masa turunnya atau datangnya kedua dalil tersebut tidak diketahui,maka seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap salah satu dalil,jika memungkinkan.Akan tetapi,dalam melakukan tarjih itu pun mujtahid tersebut harus mengemukakan alasan-alasan lain yang membuat ia menguatkan satu dalil dari dalil lainnya.Tarjih itu bisa dilakukan dari tiga sisi:
Dari segi penunjuk kandungan lafadh suatu nash.Contohnya menguatkan nash yang muhkam (hukumnya pasti) dan tidak bisa di nasakhkan (dibatalkan) dari musafar (hukumnya pasti,tetapi masih bisa di nasakhkan)
Dari segi hukum yang dikandungnya,seperti menguatkan dalil mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh
Dari sisi keadilan periwayat suatu hadits.
Al Jam’u wa Al Taufiq
Al Jam’u wa Al Taufiq yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengompromikannya.Apabila dengan cara tarjih pun tidak bisa diselesaikan,maka menurut ulama’ Hanafiyah,dalil-dall itu dikumpulkan dan dikompromikan.Dengan demikian,hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya,karena kaidah fiqih mengatakan:Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.7
Tasaqut Al-Dalilain
Tasaqut Al-Dalilain yaitu mengugurkan kedua dalil yang bertentanan.Apabila cara ketiga diatas tidak bisa dilakukan oleh seorang mujtahid,maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut,dalam arti ia merujuk dalil yang tingkatannya dibawah derajat dalil yng bertentangan tersebut.
Apabila dalil yang bertentangan dan tidak bisa dinasakh atau ditarjih atau dikompromikan adalah antara dua ayat,maka mujtahid boleh mencari dalil yang kualitasnya dibawah ayat alqur’an,yaitu as sunnah.
Apabila kedua hadis yang berbicara tentang masalah yang ia selesaikan itu juga bertentnagn dan cara-cara diatas tidak bisa juga ditempuh,maka ia boleh mengambil pendapat sahabat.Hal ini ditujukan bagi mujtahid yang menjadikannya dalil syara’,sedangkan bagi yang tidak menerima kehujjahan pendapat sahabat dapat menetapkan hukumnya melalui qiyas (analogi)
Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan diatas,harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai kepada cara keempat.
Menurut Syafi’iyah,Malikiyah,dan Zhahiriyah.
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan mnurut Ulama’ Syafi’iyah,Malikiyah dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut:
Jam’u wa Taufiq
Ulama’ Syafi’iyah,Malikiyah dan Zhahiriyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan dan mengompromikan kedua dalil tersebut sekalipun dari satu sisi saja.Alasan mereka adalah kaidah fiqih yang dikemukakan oleh Hanafiyah di atas yaitu “mengamalkan kedua dalil itu lebih baik daripada meninggalkan salah satu diantaranya.”Mengamalkan kedua dalil sekalipun dari satu segi menurut mereka dapat dilakukan dengan 3 cara,yaitu:
Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi,maka lakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya.Apabila dua orang saling menyatakan bahwa rumah A adalah miliknya,maka kedua pernyataan itu jelas bertentangan dan sulit diselesaikan,karena pemilikan terhadap sesuatu bersifat menyeluruh.Akan tetapi,bila barang yang dipersengketakan adalah barang yang bisa dibagi,maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua rumah tersebut.
Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang terbilang,seperti sabda Nabi yang menyatakan:
لا صلاة لجار المسجد الا في المسجد ( رواه ابو داود )
Atinya : “tidak dinamakan shalat bagi tetangga masjid kecuali dimasjid”.
Dalam hadits ini ada kata “ لا “ yang dalam ushul fiqh mempunyai pengertian banyak yaitu bisa berarti “tidak sah” juga bisa berarti “tidak sempurna”,dan juga bisa berarti “tidak utama”.Oleh sebab itu mujtahid boleh memilih salah satu pengertian mana saja asalkan didukung oleh dalil lain.
3. Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung bebrapa hukum,seperti kasus iddah bagi wanita hamil atau kasus persaksian.Surat Al baqoroh ayat 234 bersifat umum dan surat At-Tholaq ayat 4 bersifat khusus,maka dari satu sisi iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat At-Thalaq ayat 4.Ulama’ Hanafiyah menempuh cara ini dengan metode nasakh,bukan melalui pengkompromian.
b. Tarjih
Apabila pengompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan,maka mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya.Tata cara tarjih yang dikemukakan para ahli ushul fiqh bisa ditempuh dengan berbagai cara,umpamanya dengan menarjih yang perawinya sedikit,bisa juga melalui penarjihan sanad,bisa melalui penarjihan dari sisi matan (lafadz hadits) atau ditarjih berdasarkan indikasi lain diluar nash.
c. Naskh
Apabila dengan cara tarjih,kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan,maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandunng kedua dalil tersebut dengan syarat harus diketahui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian.Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan,seperti sabda Rasululloh yang artinya:
“Dahulu saya melarang kamu untuk menziarahi kubur,tetapi sekarang ziarahilah”.
Dalam hadits ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir.Hukum pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur,hukum yang kedua adalah diperbolehkan menziarahi kubur,karena tidak ada lagi ‘illat (motivasi) larangan yang dilihat Nabi SAW.
d. Tasaqut Al-Dalilaini
Apabila cara yang ketiga yaitu nasakh pun tidak bisa ditempuh,maka mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan.
Menurut ulama’ Syafiiyah,malikiyah dan Zhahiriyah keempat cara tersebut harus ditempuh oleh mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.8
Contoh Ta’arud Al-Adillah
Contoh dalil yang berlawanan :
والّذين يتوفّون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهنّ اربعة اشهر وعشرا (البقرة : 234)
Artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah para istri itu ) menangguhkan dirinya (ber-iddah) empat bulan sepuluh hari”.(Q.S. Al-Baqoroh:234)
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan suaminya,iddahnya empat bulan spuluh hari,baik wanita itu hamil ataupun tidak hamil.Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada surat lain:
واولات الاحمال اجلهنّ ان يضعن حملهنّ ( الطلاق : 4 )
Artinya :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya”. ( Q.S.At-Talaq : 4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap permpuan yang hamil yang suaminya meninggal atau diceraikan suaminya,sedangkan mereka dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai melahirkan.Kalau dilihat sepintas,kilas dalam ayat pertama diterangkan bahwa iddah perempuan yang hamil yang ditinggalkan suaminya meninggal adalah empat bulan sepuluh hari dan menurut ayat yang kedua iddahnya sampai melahirkan,maka nampak kedua nash ini berlawanan kalau diterangkan pada kasus yang sama,inilah yang dinamakan Ta’arud.
Penjelasan :
Mengenai kedua dalil diatas,tidak dapat dikatakan terjadi perlawanan dua buah dalil kecuali bila kedua dalil tersebut sama kuat,dan kalau satu dalil itu lebih kuat maka wajib melaksanakan dalil terkuat dan dalil yang lemah wajib ditinggalkan.Karena itu tidak mungkin berlawanan antara dalil yang qoth’I dan dalil yang zhanni,tidak mungkin berlawanan antara nash dan ijma’ atau dengan qiyas.
KESIMPULAN
Pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid,sesuai dengan kemampuan pemahaman,analisis dan kekuatan logikanya bukan pertentangan actual,karena tidak mungkin terjadi bila Allah dan Rasul nya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan.
Apabila pertentangan terjadi antara kualitas dalil yang berbeda,seperti pertentangan dalil yang qoth’i dengan dalil yang zhanni,maka yang diambil adalah dalil yang qath’I atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al Qur’an dengan hadits Ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu,dua atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al qur’an karena dari segi periwayatannya ayat-ayat Al aqur’an bersifat Qath’I,sedangkan hadits Ahad bersifat zhanni
Cara atau metode penyelesaian Ta’rudul adillah dikemukakan masing-masing oleh ulama’ Hanafiyah dan ulama’ Syafi’iyah
Hanafiyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dngan cara:
Nasakh
b.Tarjih
c.Al Jam’u wa Al Taufiq
d.Tasaqut Al-Dalilain.
Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan diatas,harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai kepada cara keempat.
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan mnurut Ulama’ Syafi’iyah,Malikiyah dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut:
a.Jam’u wa Taufiq
b. Tarjih
c. Naskh
d. Tasaqut Al-Dalilaini
Menurut ulama’ Syafiiyah,malikiyah dan Zhahiriyah keempat cara tersebut harus ditempuh oleh mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.
DAFTAR PUSTAKA
Al taftahzani,Syarh Al-Talwan Ala Al-Tawzih.Makkah Al Mukarramah,Dar Al-Baz.hal 103.
Hasaballah,Ali,Ushul Al Tasyri’ Al Islami,Dar Al Ma’arif.Mesir 1971.hlm,334
Ibn Al-Syaukani,Muhammad Ali,Irsyadul fuhul.Dar Alfikr,Beirut.hal:242
Syaifuddin,AmirUshul Fiqh Jilid I.Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997.
Umam,Kairul.Ushul Fiqih II.Bandung:Pustaka Setia,1998,186-192
1 .Amir Syaifuddin.Ushul Fiqh Jilid I.Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997.
2 Muhammad Ali ibn Al-Syaukani,Irsyadul fuhul.Dar Alfikr,Beirut.hal:242
3 Al taftahzani,Syarh Al-Talwan Ala Al-Tawzih.Makkah Al Mukarramah,Dar Al-Baz.hal 103.
4 Ali Hasaballah,Ushul Al Tasyri’ Al Islami,Dar Al Ma’arif.Mesir 1971.hlm,334
5 Wahbah al-Zuhaili,Ushul Al-Fiqh Al-Islami.Madkhal Ila Al UshulMashadir Al Tasyri’Al Hikm Al-Syar’i.Al-matba’ah Al-Jadidah,Damaskus,1975.hlm:1174
6 Abu Ishaq Al Syatibi,Al-Muwafaqat Ushul Al-Syar’i.Dar Al mukarromah,Beirut,1973.hlm.294
7 Khairul Umam,Ushul Fiqih II.Bandung:Pustaka Setia,1998,188.
8 Khairul Umam,Ushul Fiqih II.Bandung:Pustaka Setia,1998,186-192
1 Perhatikan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 2 dan 185.
2 Abdul Wahab Khallaf,‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990, hal. 24
3 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, Cet. VI, 1994, hal. 27.
4 Lihat Harun Nasution, Islamologi (Ilmu Kalam), Jakarta : UI Press, 1980, Cet. II, hal. 80.
5 Safi Hasan Abu Talib, op.cit, hal. 63-64.
6 Al-Ghazali, Loc.cit
7 Wizarah al-suun al-Islamiyah wa al-awqaf wa al-da’wah wa al-irsyad fi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, op.cit, hal. 117
8 Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka
9 M.Quraish. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Hal 243
10 Wizarah al-suun al-Islamiyah wa al-awqaf wa al-da’wah wa al-irsyad fi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, op.cit, hal. 138
1 Perhatikan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 2 dan 185.
2 Abdul Wahab Khallaf,‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990, hal. 24
3 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, Cet. VI, 1994, hal. 27.
4 Lihat Harun Nasution, Islamologi (Ilmu Kalam), Jakarta : UI Press, 1980, Cet. II, hal. 80.
5 Safi Hasan Abu Talib, op.cit, hal. 63-64.
6 Al-Ghazali, Loc.cit
7 Wizarah al-suun al-Islamiyah wa al-awqaf wa al-da’wah wa al-irsyad fi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, op.cit, hal. 117
8 Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka
9 M.Quraish. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Hal 243
10 Wizarah al-suun al-Islamiyah wa al-awqaf wa al-da’wah wa al-irsyad fi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, op.cit, hal. 138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar