Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Sebagaimana telah kita yakini bersama bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Quran. Tentu saja wajib bagi kita mengimani, mempelajari dan mengamalkan isi serta kandungannya.
Pada kesempatan kali ini akan sedikit diuraikan tentang sejarah dan perkembangan tadwin hadits, yakni di masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in. tentang bagaimana penjagaan kemurnian hingga proses penulisan dan pengumpulannya. Sehingga kita pun bisa mengetahui lebih dalam tentang asal usul sejarah awal hingga perkembangan pemeliharaannya.
Kodifikasi hadist/tadwin hadist adalah proses pembukuan hadist secara resmi yang dilakukan oleh instruksi kholifah, dalam hal ini adalah kholifah Umar bin Abdul Aziz (memerintah tahun 99 – 101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaharaan sunnah. Untuk itu beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal hadist menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada hadist yang akan hilang pada masa sesudahnya.
Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan ilmu dan sejarah hadits ?
Bagaimana periode-periode perkembangan hadits ?
Pembahasan
1. Perpautan Ilmu dan Sejarahnya
Sebelum kita mempelajari hadist, haruslah kita terlebih dahulu mempelajari pengantarnya yang melengkapi sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, sejarah ilmu-ilmunya, dan pokok-pokok dasar yang menjadi pedoman dalam menghadapinya (hadist).
Tegasnya disamping kita mempelajari hadist dan sejarah ilmu-ilmunya sebelum kita mempelajari hadist?
Faedah-faedah dan guna kita mempelajari yang demikian ialah supaya dengan memeriksa periode-periode yang telah dilalui oleh ilmu itu, semenjak masih berupa bibit/tunas yang baru tumbuh hingga menjadi pohon yang rindang, dan itulah arti mempelajari sejarah sesuatu ilmu (perkembangannya) dapatlah kita mengetahui betapa proses pertumbuhannya dan perkembangannya dari masa kemasa. Istimewa pula mempelajari sejarahnya, menggambarkan kepala kita betapa kesungguhan yang telah diberikan oleh para ahli untuk pertumbuhannya dan perkembangannya dan merentangkan jalan-jalan yang telah dibuhulkan untuk sampai kepada tujuan yang terakhir dari sesuatu ilmu itu.
Karena inilah gerangan mempelajari sejarah filsafat (umpamanya) dipandang bagian dari pada mempelajari ilmu filsafatnya sendiri.
Maka mempelajari sejarah perkembangan hadist, baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pendewaannya, adalah diperlukan benar ; karena dipandang satu bagian dari pelajaran hadist yang tak boleh dipisahkan.
Banyak sekali subyek-subyek yang kita peroleh melalui obyek ini.
Sungguh gelap jalan yang dilalui oleh mereka yang mempelajari hadist, jika mereka menempuh pelajaran hadist tanpa mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangannya.
Soal-soal yang dihadapi dalam mempelajari sejarah ilmu hadist.
Mempelajari sejarah ilmu hadist (perkembangannya) harus dititik beratkan kepada dua soal yang terpokok :
mempelajari periode-periode ilmu hadist dan nadhariyah- nadhariyahnya, serta mmemperhatikan keadaan masyarakat yang telah mendukung nadhariyah- nadhariyahnya itu dan lapangan-lapangan yang telah ditempuh olehnya.
Disamping itu kita mempelajari kebutuhan masa kepadanya dan pengaruhnya terhadap masyarakat yang mendukungnya.
Mempelajarinya pemuka-pemuka ilmu hadist dengan sedalam-dalamnya dan sehalus-halusnya.
Dalam bagian ini dipelajari kesungguhan-kesungguhan yang telah diberikan oleh para ahli dalam mendirikan sendi-sendi ilmu dan kadar bekasan yang ditinggalkan oleh para ahli dalam menegakkan asas-asas itu.
Selain dari itu, kita pelajari “manhaj-manhaj” yang telah dijalani dan “tujuan-tujuan” yang dimasukkan serta nilai-nilai hasil yang telah diperoleh. Demikian pula natijah-natijah yang telah dicapai.
Jelasnya :
Dalam bagian pertama, dipelajari periode-periode ilu dan betapa masa telah mendukung pandangan-pandangan (theori-theori) ilmu dengan tidak diperhatikan daya upaya ulama dalam membentuk pandangan-pandangan itu.
Dalam bagian kedua, dipelajari para ahli hadist yang telah menegakkan asas-asas ilmu. Mereka dipelajari dengan mendalams, agar nyatalah jalan-jalan yang telah mereka lalui dan ukuran dan timbangan-timbangan yang telah mereka pergunakan untuk mengukur dan menimbang, yang telah menyampaikan mereka kepada natijah-natijah yang telah mereka peroleh.
Mempelajari para ahli hadist, suatu hal yang tak boleh dilengahkan. Karena dengan mempelajari merekalah dapat diketahui, betapa keadaan hadist-hadist itu : dishahihkan, dihasanahkan, did ha ifkan, dan syarat-syarat apa yang mereka terhadap pengertian-pengertian tersebut.
Lebih lanjut, mempelajari para ahli hadist, menghendaki dengan senidirnya mempelajari kaedah-kaedah yang telah mereka susun dan criteria yang telah mereka pergunakan serta pertimbangan-pertimbangan yang telah mereka pakai untuk menimbang dan menapis.
B. Periode-periode perkembangann hadist
a. Hadits Pada Masa Nabi SAW
Apabila membicarakan hadits pada masa Rasulullah berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan langsung dengan pribadi Rasulullah sebagai sumber hadits. Wahyu yang diturunkan Allah swt kepada Rasulullah dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan dan penetapannya (taqrir), sehingga apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi ‘amaliyah dan ‘ubudiyah mereka.
Satu keistimewaan pada masa ini yang membedakan dengan masa lainnya yakni umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadits dari Rasulullah sebagai sumber hadits. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka. Beberapa cara yang dilakukan oleh Rasulullah dalam menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu:
Melalui para jama’ah yang berada di pusat pembinaan atau majelis ‘ilmi. Melalui majelis ini, para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits secara langsung dari Rasulullah.
Rasulullah menyampaikan pada sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya pada sahabat yang lain.
Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathu makkah.
Hadits pada waktu itu umumnya hanya diingat dan dihafal oleh sahabat dan tidak ditulis seperti Al Quran ketika disampaikan Nabi, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Secara resmi memang Nabi melarang menulis hadits bagi umum karena khawatir akan bercampur dengan Al Quran. Bagaimana tidak? Al Quran dan hadits sama-sama berbahasa arab dan sama-sama disampaikan melalui lisan Rasul bagi hadits qouli. Jika Al Quran dan hadits ditulis dengan sarana dan prasarana yang sangat sederhana itu (berupa pelepah kurma, kulit binatang, dsb), maka akan sulit untuk membedakan antara keduanya.
Ada hadits yang melarang para sahabat untuk menulisnya, tetapi banyak juga hadits yang menganjurkan penulisannya. Hadits yang melarang penulisan hadits diantaranya sebagai berikut:
عن أبي سعيد الخدري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لا تكتبوا عني, ومن كتب عني غير القرأن فليمحه (رواه مسلم)
Artinya:
“Dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwa Rasulullah saw bersabda: Janganlah kalian menulis sesuatu dariku, barang siapa yang menulis apa saja dariku selain Al Quran maka hapuslah”. (HR Muslim)
Hadits yang memperbolehkan penulisan sunah diantaranya:
Dari Abu Hurairah ra bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat Anshar menyaksikan hadits dari Rasulullah tetapi tidak hapal, kemudian bertanya kepada Abu Hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian ia mengadu pada Rasulullah tentang hafalannya yang minim tersebut, maka Nabi bersabda:
إستعن على حفظك بيمينك (رواه الترمذى)
Bantulah hafalanmu dengan tanganmu. (HR At Tirmidzi)
Dari Abu Hurairah ra pada saat Nabi menaklukkan Makkah, beliau berdiri dan berkhutbah. Maka berdirilah seorang laki-laki dari Yaman bernama Abu Syah dan bertanya: “Tuliskanlah aku?”. Maka Rasulullah bersabda:
أكتبوا لابي شاة وفي رواية أحمد : أكتبوا له
Tuliskanlah untuk Abu Syah (HR Al Bukhori dan Abu Dawud). Dalam riwayat Imam Ahmad: Tuliskanlah dia.
Dalam mencari solusi dua versi hadits yang kontra di atas para ulama’ berbeda pendapat, diantaranya:
Bahwa hadits yang melarang penulisan dihapus (di-nasakh) dengan hadits mem-perbolehkannya.
Dengan melakukan takhshish al ‘amm. Maksud larangan dalam hadits bagi orang yang kuat hafalannya atau yang kurang ahli dalam menulis karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Al Quran. Sedang kebolehannya bagi orang yang lemah hafalannya seperti Abu Syah atau bagi sahabat yang ahli dalam menulis seperti Abdullah bin Amr bin Al Ash. Jadi ia bersifat kondisional.
Al Bukhori berpendapat, hadits larangan penulisan yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri mawquf padanya saja. Bahkan semua hadits larangan penulisan bersifat dha’if, kurang kuat dijadikan alasan. Dengan demikian penulisan hadits tetap diperbolehkan dalam rangka memelihara sunnah sebagai sumber syari’ah Islamiyah sampai sekarang dan kesimpulan inilah yang disepakati oleh para ulama’.
b. Hadits Pada Masa Sahabat
Setelah Nabi SAW wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadits. Mereka sangat berpegang teguh pada pesan Rasulullah menjelang akhir kerasulannya. Sebagaimana sabdanya:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبدا ما إن تمسكتم بهما كتا ب الله و سنة رسوله (رواه الحاكم)
Artinya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya niscaya tidak akan tersesat. Yakni kitabullah dan sunnah RasulNya.”
Dan sabdanya pula:
بلغوا عني ولو أية (رواه البخاري)
Artinya: “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat.”
Usaha yang dilakukan oleh para sahabat (Khulafaur Rasyidin) dalam menjaga otentitas riwayat tidak sama. Pada masa Abu Bakar dan Umar, usaha penyaringan diseleksi dengan cara persaksian (syahadah) terhadad riwayat yang disampaikannya. Pada masa Utsman, penyaringan terhadap riwayat mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Umar, bahkan diceritakan ia pernah menyampaikan khutbah dan menyatakan “Seseorang tidak dibenarkan meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah saw yang aku tidak pernah mendengarnya pada masa Abu Bakar dan Umar”. Pada masa Ali, selain melalui persaksian, ia menggunakan metode lain dalam menerima suatu riwayat yakni dengan disertai sumpah bahwa ia telah mendengar riwayat dari Rasulullah. Oleh karena itu pada masa Khulafaur Rasyidin ini disebut sebagai masa pembatasan riwayat (taqlil ar riwayah).
Pembatasan periwayatan hadits yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, bukan berarti mereka tidak meriwayatkan hadits Rasul sama sekali, tapi dalam batas-batas tertentu.
Hukum kebolehan menulis hadits terjadi secara berangsur-angsur (at-tadarruj). Pada saat wahyu turun, umat Islam berkonsentrasi untuk menghafal dan menulisnya. Sunnah hanya disimpan dalam dada, disampaikan dari lisan ke lisan dan dipraktikkan dalam kehidupan. Kemudian setelah Al Quran dapat terpelihara dengan baik, mereka telah mampu membedakannya dengan catatan sunnah, dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan Al Quran, sehingga para ulama’ sepakat bolehnya penulisan dan pengkodifikasian sunnah.
Banyak sekali pada masa awal Islam penulisan hadits sebagai catatan pribadi bukan penulisan resmi dari khilafah, diantaranya:
Ash Shahifah Ash Shadiqah, tulisan Abdullah bin Amr bin Ash (w. 65 H), memuat kurang lebih 1000 hadits.
Ash Shahifah Jabir bin ‘Abd Allah Al Anshari (w. 78 H) tentang manasik haji yang kemudian diriwayatkan oleh Muslim.
Ash Shahifah Ash Shahihah, catatan seorang tabi’in Hammam bin Munabbih. Haditsnya banyak diriwayatkan dari Abu Hurairah sebanyak 138 hadits. Haditsnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh Al Bukhari dalam berbagai bab.
Ash Shahifah ‘Ali, tulisan yang Nabi perintahkan kepada Abu Syah pada masa fath (penaklukan) Makkah.
Selain itu, ada 6 orang di antara sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan hadits ialah:
Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadits
Abdullah bin Umar bin Al Khathab sebanyak 2.635 buah hadits
Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadits
Aisyah binti Abu Bakar sebanyak 2.210 buah hadits
Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadits
Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadits
Para sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadits ada beberapa alas an, diantaranya karena lebih dahulu bersahabat dengan Nabi seperti Abdullah bin Mas’ud, atau karena banyak berkhidmah dengan beliau seperti Anas bin Malik, atau karena banyak menyaksikan internal dalam rumah tangga beliau seperti Aisyah, dan atau karena ketekunannya dalam Hadits seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr, dan Abu Hurairah.
Pada masa Ali, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat pergolakan politik yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah, diantaraya Khawarij, Syi’ah (pendukung Ali), dan Jumhur Muslimin (ada yang mendukung Ali, Mu’awiyah, dan ada pula yang netral). Akibatnya banyak muncul hadits palsu (maudhu’) yang dibuat masing-masing kelompok itu untuk membenarkan kelompok mereka masing-masing. Menghadapi hal ini, para ulama’ di kalangan sahabat berusaha menjaga kemurnian hadits dengan lebih serius dan sungguh-sungguh, diantaranya dengan mengadakan perlawatan ke berbagai Negara Islam (rihlah) untuk mengecek kebenaran hadits yang telah sampai kepada mereka baik dari segi matan maupun sanad. Dan hasil perlawatan itu disampaikan kepada umat Islam secara transparan.
Demikian perhatian para sahabat terhadap sunnah. Mereka mereka rela meninggalkan kampong halaman dan rela mengorbankan harta benda untuk bekal perjalanan mencari hadits dari para sahabat senior yang telah tersebar di berbagai kota dalam tugas dakwahnya.
c. Hadits Pada Masa Tabi’in
Pada abad pertama hijriyah sampai hingga akhir abad pertama Hijriah, hadist-hadist itu berpindah dari mulut ke mulut, masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hapalannya. Saat itu mereka belum mempunyai motif yang kuat untuk membukukan hadist, karena hapalan mereka terkenal kuat.
Namun demikian, upaya perubahan dari hapalan menjadi tulisan sebenarnya sudah berkembang di saat masa Nabi. Setelah nabi wafat, pada masa Umar bin Khattab menjadi khalifah ke-2 juga merencanakan menghimpun hadist-hadist rasul dalam satu kitab, namun tidak diketahui mengapa niat itu batal atau urung dilaksanakan.
Di kala kendali khalifah dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan dalam tahun 99 H, seorang khalifah dari Dinasti Umaiyah yang dikenal adil dan wara’, sehingga beliau dikenal sebagai khalifah Rasyidin yang kelima, tergerak hatinya membukukan hadist karena dia khawatir para perawi yang membendaharakan hadist di dalam dadanya telah banyak yang meninggal, apabila tidak dibukukan akan lenyap dan dibawa oleh para penghafalnya ke dalam alam barzah dan juga semakin banyak kegiatan pemalsuan hadist yang dilakukan yang dilatar belakangi oleh perbedaan politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat Islam dan semakin luarnya daerah kekuasaan Islam maka semkain komplek juga permasalahan yang dihadapi umat Islam.
d. Pelopor Gerakan Kodifikasi Hadist dan Kitab-kitab Abad II H
Penulisan Hadist
Sejarah penghimpunan hadist secara resmi dan massal baru terjadi setelah khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada ulama dan para tokoh masyarakat untuk menuliskannya. Dikatakan resmi karena itu merupakan kebijakan kepala Negara dan dikatakan missal karena perintah diberikan kepada para gubernur dan ahli hadist.
Di antara gubernur Madinah yang menerima instruksi untuk mengumpulkan dan menuliskan hadist yaitu Abu Bakar ibn Hazm, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada Hazm :
أنظرماكان من حديث رسول الله ص م. فاكتبه فإني خفتُ دروسَ العلمِ وذهاب العلماء ولاتقبل إلاّ حديثَ الرسولِ ص م. ولتفشوا العلمَ ولتجلسوا حتى يعلمَ من لايعلمُ فإن العلمَ لايهلكُ حتى يكونَ سترًا
“Perhatikanlah apa yang bisa diambil dari hadist Rasulullah dan catatlah, saya khawatir akan lenyapnya ilmu ini setelah ulama wafat dan janganlah anda terima selain dari hadits Rasul saw dan hendaklah anda tebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya: lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia”.
Dan dalam instruksi tersebut Umar memeritnahkan Ibn Hazm untuk menuliskan dan menuliskan hadist yang berasal dari :
Koleksi Ibn Hazm itu sendiri
Amrah binti Abd. Ar-Rahman (wafat 98 H), seorang faqih dan muridnya syaidah Aisyah ra.
Al Qasim ibn Abu Bakar Al Siddiq (wafat 107 H), seorang pemuka tabi’in dan salah seorang fuqoha yang tujuh.
Ibn Hazm melaksanakan tugasnya dengan baik, dan tugas yang serupa juga dilaksanakan oleh Muhammad ibn Syiihab Al-Zuhri (wafat 124 H). seorang ulama besar di Hijaz dan Syam, kedua ulama di ataslah sebagai pelopor dalam kodifikasi hadist berdasarkan khalifah Umar ibn Abdul Aziz.
Meskipun ibn Hazm dan Al Zuhri telah berhasil menghimpun dan mengkodifikasi hadist, akan tetapi kerja kedua ulama tersebut telah hilang dan tidak bisa dijumpai lagi sampai sekarang.
Sistem Pembukuan Hadist
System pembukuan hadist pada awal pembukuannya agaknya hanya sekedar mengumpulkan saja tanpa memperdulikan selektifitas terhadap susunan hadist nabi, apakah termasuk di dalamnya fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. “Ulama periode ini cenderung mencampur adukkan antara hadist nabi dan fatwa sahabat dan tabi’in, mereka belum mengklasifikasikan kandungan nash-nash menurut kelompoknya”.
Dengan demikian pembukuan hadist pada masa ini boleh dikatakan cenderung masih bercampur baur antara hadist dengan fatwa sahabat dan tabi’in.
Tokoh-tokoh Pengumpul Hadist
Setelah periode Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Shihab Al-Zuhri periode sesudahnya bermunculan ahli hadist yang bertugas sebagai kodifikasi hadist jilid ke-2 yaitu :
Di Mekkah, Ibn Jurraj (w. 150 H)
Di Madinah, Abu Ishaq (w. 151 H) dan Imam Malik (w. 179 H)
Di Basrah, Ar Rabi’i ibn Shahih (2. 160 H), Siad bin Abi Arubah
(w. 156 H) dan Hamud bin Salamah (w. 176 H)Di Kufah, Sofyan Tsauri (w. 161 H)
Di Syam/Siriya,, Al Auza’i (w. 156 H)
Di Wasith/Iraq, Hasyim (w. 188 H)
Di Yaman, Ma’mar (w. 153 H)
Di Khurasan/Iran, Jarir bin Abdul Namid (w. 188 H dan Ibnu Mubarrak (w. 181 H).
Kitab-kitab Hadist yang Ditulis pada Abad ke-II Hijriah
Kitab-kitab yang disusun pada periode ini jumlahnya relatif sedikit yang sampai kepada umat Islam hari ini, di antara karya monumental yang dihasilkan oleh karya terdahulu yang sampai pada masyarakat muslim saat ini adalah :
Al Muwatha, oleh Imam Malik
Al Musnad, oleh Imam Syafi’i
Ikhtilaf al Hadist, oleh Imam Syafi’i
Hadist ini dipandang unggul dan menempati kedudukan istimewa di kalangan pada ahli hadist dan penggiat ilmu ini.
Ciri-ciri Kitab Hadist yang Ditulis pada abad ke-II Hijriah
Pada umumnya kitab-kitab hadist pada masa ini menghimpun hadist-hadist rasulullah serta fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.
Himpunan hadist pada masa ini masih bercampur baur dengan topic yang ada seperti bidang Tafsir, Sirah, Hukum dan lainnya.
Di dalam kitab-kitab hadist pada periode ini belum dijumpai pemisahan antara hadist-hadist yang berkualitas, shahih, hasan dan Dha’if.
Hadist pada Masa Ke-III Hijriah, Masa Pemurnian, Penshahihan dan Penyempurnaan Kodifikasi
Periode ini berlangsung pada masa pemerintahan khalifah Al Ma’mun sampai pada awal pemerintahan khalifah Al-Muqtadir dari kekhalifahan dinasti abbasiyah. Pada masa ini ulama memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian hadist Nabi SAW, sebagai antisipasi mereka terhadap pemalsuan hadist yang semakin marak.
Kegiatan Pemalsuan Hadist
Pada abad ke-II hijriah telah banyak melahirkan para Imam Mujtahid di berbagai bidang, di antaranya bidang Fiqih dan Ilmu Kalam. Meskipun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat, akan tetapi mereka saling menghormati.
Akan tetapi memasuki abad ke-3 hijriah, para pengikut masing-masing imam berpendapat bahwa imamnya lah yang benar, sehingga menimbulkan bentrokan pendapat yang semakin meruncing. Di antara pengikut fanatic akhirnya menciptakan hadist-hadist palsu dalam rangka memaksakan pendapat mereka.
Dan setelah khalifah Al Ma’mun berkuasa mendukung golongan Mu’tazilah, perbedaan tentang kemakhlukan Al-Qur’an dan siapa yang tidak sependapat akan dipenjara dan disiksa, salah satu imam yiatu Imam Ahmad bin Hambal yang tidak mengakuinya. Setelah pemerintahan Al Muwakkil, maka barulah keadaan berubah positif bagi ulama.
Upaya Pelestarian Hadist
Di antara kegiatan yang dilakukan oleh para ulama hadist dalam rangka memelihara kemurnian hadist rasulullah SAW adalah :
Perlawatan ke daerah-daerah
Pengklasifikasian hadist kepada : Marfu’, Mawquf, dan Maqthu’.
Penyeleksian kualitas hadist dan pengklasifikasian kepada : Shahih, Hasan, Dha’if.
Tokoh-tokoh Pengumpul Hadist
Di antara tokoh-tokoh hadist yang lahir pada masa ini adalah : Ali ibn Madany, Abu Hatim Ar Razy, Muhammad Ibn Jarir ath Thabary, Muhammad ib Sa’ad, Ishaq ibn Rahawih, Ahmad. Al Bukhari Muslim, An Nasa’i, Abu Daud, At Turmudy, Ibnu Majah, Ibnu Qutaibah Ad Dainury.
Kitab-kitab Hadist pada abad ke-III Hijriah
Di abad ke-3 hijriah ini telah muncul berbagai kitab hadist yang agung dan monumental serta menjadi pegangan umat Islam sampai sekarang di antaranya adalah :
Kitab Shahih Bukharai
Kitab Shahih Muslim
Kitab Sunan Abu Dawud
Kitab Sunan At Thurmudzy
Kitab Sunan An Nasa’i
Kitab Sunan ibn Majah
Musnad Ahmad
Hadist pada abad ke-IV sampai ke-V (Masa Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan dan Penghimpunan)
Kegiatan Periwayatan Hadist pada periode ini
Periode ini dimulai pada masa khalifah Al Muktadir sampai khalifah Al Muktashim. Meskipun kekuasaan Islam pada periode ini mulai melemah dan bahkan mengalami keruntuhan pada abad ke-7 Hijriah akibat serangan Hulaqu Khan, curu dari Jengis Khan. Kegiatan para ulama hadist tetap berlangsung sebagaimana periode-periode sebelumnya, hanya saja hadist-hadist yang dihimpun pada periode ini tidaklah sebanyak penghimpunan pada periode-periode sebelumnya, kitab-kitab hadist yang dihimpun pada periode ini di antaranya adalah :
Al Shahih oleh Ibn Khuzaimah (313 H)
Al Anma’wa Al Taqsim oleh Ibn Hibban (354 H)
Al Musnad oleh Abu Amanah (316 H)
Al Mustaqa oleh Ibn Jarud
Al Mukhtarah oleh Muhammad ibn Abd Al Wahid al Maqdisi.
Setelah lahirnya karya-karya di atas maka kegiatan para ulama berikutnya pada umumnya hanyalah merujuk pada karya-karya yang telah ada dengan bentuk kegiatan mempelajari, menghafal, memeriksa, dan menyelidiki sanad-sanad dan matannya.
Bentuk Penyusunan Kitab Hadist pada masa periode ini
Para ulama hadist periode ini memperkenalkan system baru dalam penyusunan hadist, yaitu :
Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunannya hanya menyebutkan sebagian matan hadist tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik dari sanad kitab hadist yang dikutib matannya ataupun dari kitab-kitab lainnya contoh :
Athraf Al Shahihainis, oleh Al Dimasyqi (400 H)
Atharf al Shahihainis, oleh Abu Muhammad khalaf ibn Muhammad al Wasithi (w. 401 H)
Athraf al Aunnah al arraba’ah, oleh Ibn Asakir al Dimasyqi
(w. 571 H)Atharf al Kutub al Sittah, oleh Muhammad ibn Tharir al Maqdisi (507 H).
Kitab Mustadhrak, kitab ini memuat matan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau lainnya dan selanjutnya penyusun kitab ini meriwayatkan matan hadist tersebut dengan sanadnya sendiri, contoh :
Mustadhrak Shahih Bukhari, oleh Jurjani.
Mustadhrak Shahih Muslim, oleh Abu Awanah (316 H).
Mustadhrak Bukhari Muslim, oleh Abu Bakar ibn Abdan al Sirazi (w. 388 H).
Kitab Mustakhraj, kitab ini menghimpun hadist-hadist yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu dari keduanya, contoh :
Al Mustadhrak oleh Al Hakim (321 – 405 H)
Al Ilzamat, oleh Al Daruquthni (306 – 385 H)
Kitab Jami’, kitab ini menghimpun hadist-hadist yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada yaitu yang menghimpun hadist shahih Bukhari dan Muslim, contohnya :
Al Jami’ bayn al Shahihaini, oleh ibn Al Furat (Ibn Muhammad Al Huwaidi (w. 414 H).
Al Jami’ bayn al Shahihaini, oleh Muhammad bin Nashir al Humaidi (488 H).
Al Jami’ bayn al Shahihaini, oleh Al Baqhawi (516 H).
Hadist pada abad ke VII sampai sekarang (Masa Pensyarahan, Penghimpunan, Pen-Takhrij-an dan Pembahasannya)
Kegiatan Periwayatan Hadist pada Periode ini
Periode ini dimulai sejak kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad ditaklukkan oleh tentara Tartar (656 H/1258 M), yang kemudian kekhalifahan Abbasiyah tersebut dihidupkan kembali oleh Dinasti Mamluk dari Mesir setelah mereka menghancurkan bangsa Mongol tersebut.
Pembaiatan khalifah oleh Dinasti Mamluk hanyalah sekedar symbol saja agar daerah-daerah Islam lainnya dapat mengakui Mesir sebagai pusat pemerintahan dan selanjutnya mengakui Dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia Islam, akan tetapi pada abad ke8 H Ustman Kajuk mendirikan kerajaan di Turki di atas puing-puing peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah, sehinga bersama-sama dengan keturunan Ustman menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang ada disekitarnya dan selanjutnya membangun Daulah Ustmaniyah yang berpusat di Turki. Dengan berhasilnya mereka menaklukkan Konstantinopel dan Mesir serta meruntuhkan Dinasti Abbasiyah, maka berpindahlah kekuasaan Islam dari Mesir ke Konstantinopel.
Pada abad ke-13 Hijriah (awal abad ke-19 H) Mesir dengan dipimpin oleh Muhammad Ali, mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa silam. Namun Eropa yang dimotori oleh Inggris dan Prancis semakin bertambah kuat dan berkeinginan besar untuk menguasai dunia, mereka secara bertahab mulai menguasai daerah-daerah Islam sehingga pada abad ke-19 M sampai ke awal abad 20 M, hamper seluruh wilayah Islam dijajah oleh Bangsa Eropa, kebangkitan kembali dunia Islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M.
Sejalan dengan keadaan dan kondisi-kondisi dunia Islam di atas, maka kegiatan periwayatan hadist pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazah dan mukatabah. Sedikit sekali ulama hadist pada periode ini melakukan periwayatan hadist secara hapalan sebagaimana dilakukan oleh ulama yang Mutaqaddimin, di antaranya yaitu :
Al Traqi (w. 806 H/1404 M) dia berhasil mendiktekan hadist secara hapalan kepada 400 majelis sejak 796 H/1394 M dan juga menulis beberapa kitab hadist.
Ibn Hajar al Asqalani (w. 852 H/1448 M) seorang penghapal hadist yang tiada bandingannya pada masanya. Dia telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan hadist.
Al Sakhawi (w. 902 H/1497 M) murid ibn Hajar yang telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah buku.
Bentuk Penyusunan Kitab Hadist pada periode ini :
Pada periode ini para ulama hadist mempelajari kitab-kitab hadist yang telah ada, dan selanjutnya mengembangkannya atau meringkasnya sehingga menghasilkan jenis karya sebagai berikut :
Kitab Syarah, yaitu : jenis kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan hadist dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lainnya yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist ataupun kaidah-kaidah syara’ yang lainnya contoh :
Fath al Bari, oleh Ibn Hajar al Asqalani, yaitu syarah shahih kitab Al Bukhari.
Al Minhaj, oleh Al Nawawi yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
Aun al Ra’hud, oleh Syams al Haq al Acbim al Abah, syarah Sunan Abu Dawud.
Kitab Mukhtashrah, yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadist, seperti Mukhtashar Shahih Muslim oleh Muhammad Fu’ad abd Al Baqy.
Kitab Zawaid yaitu kitab yang menghimpun hadist-hadist dari kitab tertentu yang tidak dimuat.
Penutup
Kesimpulan
Pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW/sebelum Rasul wafat, hadits itu masih benar-benar terjaga kemurniannya, semua umat Islam bisa langsung menanyakan masalahnya kepada Rasul. Dan pada masa ini Rasul menyuruh sahabat menghafal hadits, namun melarang mereka menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Al Quran.
Pada masa sahabat masih focus pada pemeliharaan Al Quran dan periwayatan hadits masih dibatasi. Meskipun sudah ada beberapa sahabat yang memiliki catatan hadits yang dipakai untuk pribadi dan belum mendapat perintah resmi dari khalifah.
Lalu pada masa tabi’in ini sudah dilakukan penulisan dan pengkodifikasian hadits yang diinstruksikan langsung oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikarenakan sudah semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan semakin banyaknya ulama’ serta ahli ilmu yang gugur dalam peperangan. Dan semua itu membuat Khalifah khawatir akan menyebabkan lenyapnya hadits Nabi sehingga turunlah instruksi penghimpunan hadits.
Daftar Pustaka
Rudliyana, Muhammad Dede. 2004. Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits Dari Klasik Sampai Modern. Bandung: Pustaka Setia.
WAS, Ahmad Taufiq. 2009. Modul Ilmu Hadits Program Aliyah Keagamaan. Malang: MAN 3 Malang.
Hasbi Ash Shiddieqy, M. 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Jakarta : Bulan Bintang.
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul Hadist. Bandung : PT. Al Ma’arif.
Majid, Khon Abdul. 2008. Ulumul Hadist. Jakarta : Amzah.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2006. Ilmu Ushul Hadist. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar